Gaduh Pupuk Tiada Akhir, ini Sebabnya

Aktivis Aliansi Petani Bima, Suhaimi Mustamin saat Menyampaikan Pendapat dalam Talk Show NTB Menyapa yang Digelar di Studio Beradab STKIP Taman Siswa, Sabtu (15/1/2022).

Bima, Suaraberadab.com— Problem pupuk menimbulkan kegaduhan yang berulang setiap memasuki musim tanam dan terkadang menimbulkan dampak sosial akibat blokade jalan yang merupakan protes atas persoalan tersebut. Lalu apa penyebab persoalan pupuk dan solusinya?

Sekda Kabupaten Bima, Drs H Taufik HAK M.Si menegaskan, tidak ada kelangkaan pupuk di Kabupaten Bima, namun alokasi dari pemerintah pusat untuk petani berkurang. Jika pada tahun 2021 Kabupaten Bima mendapatkan kuota 44.000 ton berdasarkan input rencana definitif kebutuhan kelompok secara elektronik (e-RDKK), pada tahun 2022 kuota untuk Kabupaten Bima berkurang menjadi 38,4 ribu ton.

Bacaan Lainnya

“Pupuk tidak langka, hanya kurang karena lahan yang dibuka oleh petani banyak. Misalnya gunung-gunung dan hutan lindung, kadang-kadang hutan tutupan juga, sehingga membutuhkan (banyak) pupuk yang tidak masuk RDKK,” ujar Taufik saat Talk Show NTB Menyapa yang disiarkan Bima TV melalui Ruang Beradab STKIP Taman Siswa, Sabtu (15/1/2022) lalu.

Menurut Taufik, Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) Kabupaten Bima telah bekerja mengawasi distribusi pupuk. Misalnya merespon indikasi penjualan pupuk di atas harga eceran tertinggi (HET) hingga Rp130 ribu/ kg di Kecamatan Lambu, mengecek penjualan pupuk di pasar Tente Kecamatan Woha, serta melaksanakan monitoring pupuk di Kecamatan Ambalawi dan Wera.

“Pertama di Lambu viral petani tidak akan membeli pupuk, mereka mogok. Petani tidak membeli pupuk karena dijualnya Rp130 ribu/ Kg pupuk urea. Saya turun bersama tim ternyata ada kesepakatan mereka yang tadinya awal 50 kg ditambah 2 kg, karena ditambah pupuk nonsubsidi, dan petani menolak. Saya katakan itu tidak boleh,” ujar Taufik.

KP3 Kabupaten Bima juga telah merespon persoalan pupuk yang terjadi di Kecamatan Donggo berdasarkan Informasi salah satu Direktur di Polda NTB. Namun saat membahas hal tersebut dengan para pengecer di wilayah tersebut, mereka mengelak menjual pupuk hingga Rp150 ribu/ sak. KP3 juga telah menerima informasi adanya impor pupuk dari wilayah lain di Kecamatan Donggo.

“Ada diimpor pupuk dari daerah lain yang jadi masalah. Karena ada pupuk ada sampai Rp200-250 ribu/Kg, saya bilang sama Pak Kapolseknya tangkap dan dipanggil petani. Petani bilang kami juga butuh. Persoalan ini kenapa terjadi kelangkaan di RDKK. Kekurangan tahun 2022 juga besar, dari 44 ribu ton turun ke 38,4 ribu ton berarti ada kekurangan 8.600 ton,” katanya.

Pada sisi lain, petani juga enggan mengurus dokumen administrasi yang dibutuhkan agar tercakup dalam data e-RDKK. Pupuk juga dibutuhkan petani yang membuka lahan baru seperti di gunung di atas elevasi 30 derajat. Padahal dari aspek regulasi, tidak mungkin akan tercakup dalam e-RDKK karena lokasi lahan yang digunakan sebagai area tanam tidak memenuhi syarat.

“Persoalanya adalah, sekarang pakai internet semua, NIK dengan kartu keluarga apa sama? Ini banyak bedanya. Oleh itu karena kebijaksaan saya kemarin, saya instruksikan pak camat, nanti penyusunan e-RDKK 2023 harus dilibatkan semua kepala desa, kepala dusun RT, RW. Hadirkan Discapil untuk malakukan pengecekan apa benar persoalan NIK dan KK. Kita hadirkan di kecamatan Discapil. Persoalan besar petani baru tapi tidak masuk RDKK. Kedua, ada pembukaan lahan-lahan baru membutuhkan pupuk yang banyak, tapi dia tidak masuk e-RDKK,” kata Taufik.

Berkaitan kekurangan pupuk dari semula pada tahun 2021 pada e-RDKK mencapai 44.000 ton, kemudian pada tahun 2022 turun menjadi 38,4 ribu ton, pihaknya telah bersurat ke Kementan agar melakukan normalisasi e-RDKK. Pembukaan lahan di atas elevasi 30 derajat untuk ditanami jagung menimbulkan banyak dampak dan berbagai persoalan baru bagi masyarakat.

Taufik memperdiksi, tahun 2026 mendatang wilayah Bima mengalami  krisis air. Karena telah banyak hutan yang dirambah untuk ditanami jagung. Dampak perambahan hutan tidak hanya merusak infrastruktur seperti jembatan yang dibangun pemerintah, tapi menimbulkan dampak air bah (banjir) dari gunung dan dampaknya dirasakan masyarakat. Berbagai hutan penyanggah seperti di Kecamatan Sanggar, Kecamatan Donggo, Kecamatan Lambitu, Kecamatan Parado dan Kecamatan Madapangga telah habis dibabat untuk ditanami jagung. Menyikapi hal itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima pernah berinisiatif melanjutkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Ngaha Aina Ngoho dan bersurat ke Gubernur NTB, mengingat kewenangan pengelolaan hutan sesuai regulasi berada pada pemerintah proivinsi dan pemerintah pusat.

“Oleh karena itu saya buat Perda untuk kewenangan bersurat ke Gubernur dan kami meminta pasal sanksi kepada polisi dan polisi menyatakan nggak boleh pak. Untuk apa ada Perda kalau tidak ada sanksi. Artinya kita melarang orang ngoho itu dengan Perda. Kalau dibiarkan terus hutan habis, kewenangan siapa? Kewenangan negara dan provinsi, daerah hanya di bawah di lahan hutan rakyat saja. Ini harus berani semua pemerintah tingkat satu dan daerah dalam hubungan bagaimana, ngoho benar-benar dicegah,” katanya.

Sebagai ketua tim penyusunan anggaran daerah (TPAD) Kabupaten Bima, Taufik siap saja merespon kebutuhan masyarakat berkaitan infrastruktur pendukung seperti jembatan. Namun ekosistem pendukung harus terjaga dengan baik.

“Saya Sekda Kabupaten Bima kalau jagung saya tidak mau satu sentipun, karena merusak, kecuali tanaman berkaitan tatanan kehidupan kita sehari-hari seperti padi, kedelai. Saya melihat jagung di Dompu itu berbahaya, ternyata bahaya, dampaknya terlalu banyak. Hanya sebagian kelompok yang menikmati, tapi masyarakat yang rugi. Apa ruginnya? ekosistem habis, infrastruktur pemerintah habis,” ujarnya.

Sementara itu, salah satu pengecer pupuk di Kabupaten Bima, Amiruddin AB yang hadir juga sebagai pembicara dalam Talk Show NTB Menyapa yang dipandu oleh Ketua STKIP Taman Siswa Bima, Dr Ibnu Khaldun tersebut, mengungkapkan,  persoalan pupuk tidak akan terjadi jika kebutuhan setiap daerah dipenuhi pemerintah pusat melalui Kementan. “Tahun lalu fair pemerintah peruntukannya 55 kg/ hektar, sekarang 150 kg/ hektar, seharusnya lima  kali peningkatannya. Logikanya ada peningkatan peruntukan juga. Kalau diinput dan dikasi izin 200 kg/ha, kita harus mendapatkan 160 ribu ton,” ujarnya.

Menurut Amiruddin persoalan kekurangan alokasi pupuk untuk seluruh wilayah di NTB juga telah diakui Kepala Dinas Pertanian Provinsi NTB. Kuota pupuk urea untuk Provinsi NTB 180 ribu ton, namun untuk jenis pupk NPK 52 ribu ton. Padahal saat input data e-RDKK, NPK dihitung 300 kg/ hektar.

“Jika terpenuhi seharusnya jatah NPK untuk NTB 377 ribu ton agar bisa sama dengan urea, itupun tidak sampai 100 persen. Makanya saya bilang pupuk selalu langka, karena jatah pupuk kita kurang. Perjuangan kita untuk mendapatkan ini yang saya persoalkan,” katanya.

Sekda Kabupaten Bima menegaskan, kuota subsidi pupuk urea untuk masyarakat dari pemerintah pusat hanya 25 persen, sehingga tidak semuanya diberikan subsidi. Opsi lainnya masyarakat mau menggunakan pupuk organik yang kuotanya ¼ dari total pupuk. “Terkait dengan tadi proses RDKK tidak seperti hitungan, tetap proses. Ada tim kepala desa, petani sesuai masing-masing lahan. Setelah kita masuk online, secara begitu turunnya. Harapannya kita di kelompok tani memerhatikan itu,” harap Taufik.

 

Area Tanam di Atas Elevasi 30 Derajat tidak bisa Masuk E-RDKK

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distambun) Kabupaten Bima, Ir Hj Nurma menjelaskan, pengurangan kuota pupuk bersubsidi tahun 2022 disebabkan resionalisasi terhadap luas tanam yang dipilah-pilah masuk dalam kategori musim kemarau satu (MK1), MK2 dan musim hujan (MH).

“Kedua, perubahan sistem oleh pusat disebabkan perubahan upload data. Dengan persyaratan-persyaratan itu banyak petani kita tidak masuk e-RDKK. Tahun 2022 e-RDKK kita hanya 38 ribu ton, kekurangan 8.000 atau 9.000 ton, tetapi itu dari 38 ribu ton itu masih ada yang datanya tidak terprint out. Dibuka sistemnya oleh pusat baru bisa kita pantau. Masih ada yang tidak bisa terprint out, jadi 38 ribu ton itu belum tentu bisa terprint,” ujar Nurma.

Mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bima ini menjelaskan, salah satu persyaratan agar petani bisa masuk dalam data e-RDKK harus memiliki nomor induk kependudukan (NIK) pada e-KTP, bukan nomor kartu keluarga (KK). Selain itu, harus masuk dalam kelompok tani dan berdigitasi, bersimultan dalam lahan pertanian pangan bekelanjutan (LP2B), yang menggunakan metode multidata spasial sebagaimana diatur dalam regulasi konversi lahan sawah sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Foto Bersama Host NTB Menyapa Bersama Narasumber dan Audiens.

“Kemudian harus berdigitasi, yaitu kelompok yang melakukan usaha tani di luas lahan kategori LP2B, kemiringan 30 derajat. Makanya yang ngoho-ngoho lahan untuk jagung, kebutuhannya tidak bisa dipenuhi aturan pusat. Itu aturan yang dibuat. Jangan kami disalahkan, karena itu kendala-kendala peraturan di sistem. Kalau dia punya usaha (jagung) di atas kemiringan 30 derajat, maka itu tertolak oleh sistem (e-RDKK),” ujar Nurma.

Kadis Pertambun juga menjelaskan, pihaknya juga telah bersurat ke Dinas Pertanian Provinsi NTB yang ditembuskan kepada Direktur Pupuk Bersubsidi Kementan. “Makanya kemarin saya berkonsultasi dengan dua direktur, yakni Direktur Pengawasan Pupuk Subsidi dan Direktur Pupuk Subsidi. Nah, itu langkah-langkah kami berdasarkan saran mereka akan menjadi acuan kami di lapangan. Tetapi tentu kita menunggu persetujuan dari Kementan,” katanya.

Sementara itu, Aliansi Petani Bima, Suhaimi Mustamin mengatakan, pihaknya belum mengetahui dasar hukum pengawasan pupuk oleh KP3 Kabupaten Bima. Jika rujukan mekanisme  kerja KP3 adalah adalah Direktorat Kementan, maka regulasi itu masih bersifat umum, sehingga harus ada role model pengawasan pupuk bersubsidi. “Makanya harus ada role mode, Perda pengawasan oleh KP3. Hari ini tidak ada Perda sehingga pengawasan sesuai selera KP3, semua mata tidak bisa mengawasi,” kata Suhaimi.

Dia juga mengkritik tindak lanjut Dinas Pertanian,Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Bima berkaitan masih dibukanya input e-RDKK hingga Desember 2021 lalu.

Bagaimana tanggapan Pemkab Bima? Sekda Kabupaten Bima, Drs H Taufik HAK M.Si mengatakan, pihaknya mengikuti mekanisme pertama dari Kementan berkaitan tugas KP3, karena belum ada Perda yang menjadi role mode. Hingga kini belum ada petunjuk teknis untuk kerja KP3. Sementara pada sisi lain, anggaran untuk KP3 masih sangat terbatas dan tugas dalam komisi tersebut merupakan tugas tambahan pihaknya.

“Kita mengikuti mekanisme pertama karena belum ada Perda, sehingga nanti, kalau memang ada perda, kita masuk mekanisme termasuk pengawasan. Sementara ini kami bekerja dalam tim gabungan. Awalnya kita mendiskusikan dulu, kita panggil pengecer, distributor. Setelah dibuat instruksi, penekanan, dilakukan peninjauan atau pada saat pupuk bersubsidi kita ada, tapi tidak setiap waktu. Ini tugas tambahan buat Sekda. Saya push itu kalau diperdakan,” ujar Taufik.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Kementan menerapkan sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) penerimaan pupuk subsidi dan Kartu Tani untuk meningkatkan ketepatan sasaran penyaluran pupuk. Sistem tersebut dirasa tepat untuk mengevaluasi distribusi pupuk bersubsidi, sekaligus meminimalisasi penyelewengan. Dengan sistem elektronik juga bisa meminimalisasi data ganda penerima bantuan pupuk bersubsidi, sehingga Kementan masih mengacu data nomor induk kependudukan (NIK) pada e-KTP untuk penerimaan pupuk bersubsidi. Salah satu pertimbangannya, data manual yang dijadikan rujukan mendistribusikan pupuk bersubsidi berpotensi menimbulkan kecurangan, memicu data ganda pada proses validasi manual sehingga pembagian pupuk bersubsidi tidak merata.  (*)

Pos terkait