Industri dan Masa Depan Sepak Bola NTB, Begini Ulasannya

Host Talk Show NTB Menyapa, Dr Ibnu Khaldun Sudirman Memandu Acara.

Bima, Suaraberadab.com— Sepak Bola Gubernur NTB Cup 2022 yang digelar di lapangan Semangka Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, belum lama ini dapat menjadi salahsatu mementum kebangkitan sepak bola di Bumi Gora, khususnya di wilayah Bima.

Kendati bukan kompetisi resmi layaknya liga III hingga liga I dalam kasta sepak bola nasional, Gubernur NTB Cup tersebut dapat menjadi pintu masuk mengembangkan industri sepak bola di Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok. Respon masyarakat terhadap sepak bola tersebut luar biasa. Estimasinya, 50.000 pasang mata meyaksikan perhelatan di wilayah Timur Provinsi NTB tersebut. Dari aspek ekonomi, kompetisi tersebut diperkirakan telah menggerakan ekonomi rakyat sekitar, estimasi perputarannya  mencapai Rp1,5- 2 miliar atau Rp500 juta per setiap fase tanding, sehingga memberi gambaran untuk memoles sepak bola sebagai industri baru di NTB.

Hal tersebut mengemuka dalam Talk Show NTB Menyapa bertajuk; Masa Depan Sepak Bola NTB yang dipandu Dr Ibnu Khaldun M.Si dan disiarkan secara langsung oleh stasiun TV Digital Bima TV melalui Studio Beradab, kampus STKIP Taman Siswa Bima di Palibelo, edisi Sabtu (5/3/2022) lalu.

Inisiator Sepak Bola Gubernur NTB Cup 2022, Buyung Nasution menjelaskan,  kompetensi nonresmi tersebut memang didesain untuk menggairahkan geliat ekonomi masyarakat Bima yang terpukul oleh pandemi Covid-19, dalam konsep olahraga yang dikombinasikan promosi pariwisata (sport tourism). Pihaknya melihat bahwa kegiatan yang hanya melibatkan kelompok masyarakat kurang populer, sehingga menawarkan kepada Pemrov NTB agar menggelar Gubernur Cup.

“Kami menawarkan Gubernur NTB, di Bima ada event yang sangat merakyat, yakni sepak bola, di mana kalau dilaksanakan pasti ramai,  di Sape sudah terbukti beberapakali melaksanakan beberapa event. Alhamdulilah animo masyarakat sangat tinggi dan besar sekali. Kehadiran teman-teman menyambut sepak bola kemarin, bahkan viral secara nasional,” ujarnya.

Menurut pria asli Sape ini, kehadiran sejumlah pemain klub liga I dari Liberia, Tongo dan Nigerai serta mantan pemain Timnas seperti Patrich Wanggai, memberi warna baru sepak bola di Bima. Memompa animo masyarakat untuk menyaksikan pertandingan tersebut. Output positif dari kegiatan tersebut, situasi dan kondisi psikologis masyarakat di Sape yang dikaitkan watak tempramen (keras) dapat dieliminasi, karena Gubernur Cup 2022 tersebut berlangsung aman hingga kompetisi berakhir.

“Gubernur Cup membuktikan masyarakat Sape Lambu bisa menjadi masyarakat yang tertib, masyarakat yang wellcome (ramah) terhadap tamunya. Tidak ada insiden apapun selama event berlangsungg selama 40 hari, termasuk kendaraan penonton tidak ada yang komplain,” ujar Buyung.

Pendamping Desa P3MD ini mengungkapkan,  salah satu rahasia sehingga Gubernur Cup 2022 terselenggara dengan aman hingga selesai karena panitia membagi peran dengan seluruh elemen. Misalnya pengelolaan parkir saat event berlangsung diserahkan kepada beberapa kelompok pemuda di lokasi. Demikian juga untuk pengelolaan tribun penonton diserahkan kepada kelompok pemuda lainya.

Suasana Talk Show NTB Menyapa, Edisi Sabtu (5/3/2022).

Output penting dari Gubernur Cup 2022 memberikan manfaat positif bagi geliat ekonomi masyarakat sekitar. Bahkan para pedagang seperti kelompok penjual nasi,  anggota ojek dan penjual kopi meraih omzet hingga tiga kali lipat.  “Geliat ekonomi tumbuh besar sekali. Kami diskusi dengan teman-teman klub lokal, bagaimana event ini bisa diulangi lagi, karena dapat memberikan daya ungkit ekonomi yang baik bagi masyarakat,” ujarnya.

Bagi Buyung, sepak bola dapat menjadi masa depan generasi, termasuk menjadi lokomotif untuk membangkitkan ekonomi masyarakat sekitar. Namun agar sepak bola berkembang, harus ada intervensi pemerintah dalam memberikan garansi, misalnya kepada anak muda yang fokus dan menggantungkan hidupnya dari cabang olahraga ini.  “Seandainya pemerintah memberikan perhatian serius seperti bantuan stimulus. Kalau seandainya pemain berbakat bisa dikaryakan di pemerintah-pemerintah daerah,” katanya.

Berpegang teguh pada pernyataan Gubernur NTB saat penutupan event tersebut dan isyarat Bupati Bima yang akan membangun tribun sementara waktu di wilayah Bima dan mewujudkan studion sepak bola jika NTB dan Provinsi NTT diberi kepercayaan pemerintah pusat segagai tuan rumah PON 2028, maka menurut Buyung, Kecamatan Sape Kabupaten Bima akan menjadi prioritas lokasi pembangunan studion sepak bola, sebagaimana isyarat Gubernur NTB, H Zulkieflimansyah.

Menurut Buyung, spirit Gubernur Cup 2022 di Kecamatan Sape dapat menjadi inspirasi dan isyarat dalam mewujudkan kebangkitan sepak bola di NTB, khususnya di Kota Bima dan Kabupaten Bima. Berkaca dari partisipasi yang dibangun sejumlah klub saat kompetisi tersebut hingga dapat mendatangkan para pemain internasional dan mantan pemain Timnas, Askab PSSI Bima dan Askot PSSI Bima serta stake holder yang terlibat di dalamnya dapat membangun sentimen identitas, sehingga dapat membangkit spirit dan partisipasi seluruh elemen masyarakat Bima di  daerah hingga luar daerah seperti pengusaha.

“Kalau kita review Gubernur Cup kemarin, begitu banyak masyarakat yang terlibat aktif dari segi pembiayaan. Kenapa Wera Kamane FC bisa sedasyat itu? Karena orng-orang Wera Jakarta yang tergabung dalam IKRA (Ikatan Keluaga Wera) bahu membahu untuk membiayai klub itu, Wera se-Indonesia. Sampai terakhir, Sape saja hadir di Sape seperti pengusaha-pengusaha lain walaupun Sape Putra United nomor 2, tapi tetap mendapatkan sponsor dari pengusaha-pengusaha Jakarta,” ujarnya.

Sentimen identitas seperti trah Bima lanjut Buyung, akan membangkitkan nilai partisipasi untuk mendukung kualitas yang diinginkan dalam membangun sepak bola, khususnya dalam mengatasi kendala modal yang terbatas.

“Orang (Bima) se-nusantara ini bisa bersatu membesarkan bola di Bima ini. Karena selama ini sentimen kewilayahan saja, sentimen tingkat kecamatan, sentimen tingkat klub. Bagaimana sentimen ke-Bima-an muncul,” ujarnya.

Menurutnya, cukup sulit mengharapkan dukungan dana desa untuk mengembangkan potensi sepak bola di Kabupaten Bima. Terlebih di tengah kondisi pandemi Covid-19, sebagaimana diatur dalam regulasi seperti petunjuk teknis, dana desa telah ditetapkan alokasinya untuk berbagai kebutuhan penting di desa seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan pangan tunai, dan penanganan lain Covid-19.

“Sehingga sisalnya 20 sekian persen untuk dana lain. Itu pun kepala desa sudah mengeluh, tapi memang kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Desa itu pengembangan sarana olahraga, tapi dengan terbatasnya dana ini, ada tapi tidak terlampau besar,” ujar Buyung.

 

Prestasi Sepak Bola tak Melulu soal Sarana-Prasarana

Ketua Askab PSSI Bima, Khairuddin Djuraid mengatakan,  pihaknya baru saja memulai mengurai benang kusut masalah sepak bola di Kabupaten Bima, termasuk manajemen organisasi klub sepak bola.  Pengembangan prestasi sepak bola berkaitaan tiga hal, yaitu pembinaan, usia pemain dan kompetisi berjenjang serta reguler. Beberapa tantangan Askab PSSI Bima dalam mengembangkan talenta sepak bola terutama berkaitan modal. Apalagi dari apsek regulasi,  pemerintah daerah tidak diperkenankan mengalokasikan APBD untuk sepak bola.

“Pembinaan itu alhamdulillah adik-adik kita dari Woha FC. Kita kirim anak-anak ikut festival U-12, padahal saat zaman zaman Ady Setiawan kita juara sampai level Asia Tenggara. Kita bicara kompetisi reguler, sehingga pelatih dan pencari bakat (talent scouting) bisa mendeteksi bakat-bakat pemain. Untuk terlibat di NTB saja harus punya uang Rp200-300 juta dan itu saya alami, saat membantu teman-teman Persebi kemarin,” ujarnya.

Menurut dia, setiap kompetisi sepak bola membutuhkan modal tak sedikit. Sebagai contohnya, biaya yang dibutuhkan klub untuk lolos hingga 64 besar kompetisi nasional liga III hingga Rp500 juta. Demikian juga untuk lolos 30 besar dibutuhkan Rp1 miliar. Seterusnya untuk lolos 16 besar dibutuhkan modal Rp5-6 miliar.

“Saya mau katakan mungkin Bima belum memiliki kemewahan, karena Pemda sudah tidak diperkenankan membantu klub sepak bola. Karena jika mengandalkan APBD tidak mungkin,” ujarnya.

Khairuddin mengatakan, klub sepak bola dari Kota Bima dan Kabupaten Bima belum mampu mencicipi kasta tertinggi sepak bola nasional karena belum memiliki berbagai kelebihan seperti modal. Namun di tengah keterbatasan tersebut, Askab PSSI Bima akan berupaya maksimal.  Salah satunya dengan menggelar kompetisi gabungan seluruh klub, yang kemudian diklasifikasi secara berjenjang beberapa liga amatir khusus klub di Kabupaten Bima. Pengalaman yang tidak diinginkan pihaknya seperti nasib klub di KSB yang sempat mencicipi kasta sepak bola Indonesia pada level nasional, namun kemudian terdegradasi dan kini tidak terkelola dengan baik.

“Kami tentukan tiga zona lapangan karena berkaitan animo penonton juga. Pembiayaannya dari biaya pendaftaran, sponsorship pemerintah  dan juga pendapatan dari penonton, tiket dan lainnya. Kami berikan contohnya, uang bukan segala galanya, tapi segala galanya butuh uang,” ujarnya.

Narasumber Memaparkan Pendapat saat Talk Show NTB Menyapa.

Askab PSSI Bima fokus mendorong talenta pemain dalam jangka 3-5 tahun mendatang, di antaranya melalui pembinaan klub. Sudah puluhan tahun kiprah Askab PSSI Bima, yang tergabung hanya 15 klub sepak bola, kemudian seiring revitalisasi dan berbagai langkah perbaikan, tercatat sudah 61 klub yang terdaftar di Askab PSSI Bima.  PSSI Kabupaten Bima membuka kesempatan kepada setiap klub, selama mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan Askab. Dari sisi kompetisi, organisasi juga terus menggelar berbagai pertandingan seperti liga atau festival pelajar untuk U-14 dan U-16 serta U-12. Selain itu menyelenggarakan Copa Bupati Bima yang mempertemukan seluruh klub setiap tahun.

“Dari sini pemain itu bisa dideteksi oleh pelatih, para pencari bakat (talent scouting). Para pencari bakat bisa melihat bakat jika ada kompetisi, jika ada sekolah-sekolah sepak bola yang dibina secara baik. Sarana dan prasarana penting buat kita. Satu-satunya dari dari 10 kota kabupaten di NTB ini yang kita sadari, Kabupaten Bima dan Kota Bima yang belum memiliki studion,” ujarnya.

Kendati demikian, sarana-prasarana bukan hal utama atau hanya faktor ketiga pengembangan sepak bola. Khairuddin mencontohkan situasi anaknya yang belajar pada salah satu sekolah sepak bola (SSB) di Jakarta. Lingkungan tempatnya menetap tersebut tidak terdapat banyak lapangan representativ dan hanya menggunakan rumput sintetis. Namun SSB di lingkungan yang sama tempat anaknya ditempa, justru selalu meraih juara.

“Artinya sarana prasarana bukan penentu tanpa ada pembinaan yang baik, tanpa kompetisi yang benar,” ujarnya.

Secara historis, sepak bola di Kabupaten Bima memiliki potensi besar dan riwayat prestasi yang bagus. Sebagai contohnya, 18 klub yang bertanding dalam liga III zona NTB tahun 2021 lalu, terutama di Rayon Pulau Sumbawa, hampir seluruhnya merekrut pemain dari Kabupaten Bima dan Kota Bima. Demikian juga pada Rayon Pulau Lombok seperti klub Bima Sakti, 80 persen pemainnya berasal dari Bima. Begitu pula dengan pelatih klub.

“Dari sisi potensi pemain, kita di Kabupaten Bima mendapatkan satu berkah, bonus demografi. Jumlah usia produktif lebih banyak dari usia tidak produktif. Iini adalah potensi yang harus dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah, tentu bersinergi dengan Pemprov, pemerintah pusat, stake holder lainnya, kampus dan swasta. Dalam rangka pembinaan dan pengembangan sepak bola di Kabupaten Bima,” kata Khairuddin.

Khairuddin melihat turnamen Gubernur NTB Cup yang digelar di lapangan Semangka Kecamatan Sape, adalah pintu masuk pengembangan sepak bola di Kabupaten Bima, termasuk mewujudkan industri sepak bola. Animo masyarakat pada kompetisi tersebut juga menggairahkan cabang olahraga ini. Keterlibatan masyarakat dan kehadiran penonton memberi andil perputaran uang dalam kegiatan turnamen tersebut. Pihaknya berasumsi perputaran uang itu Rp1-2 miliar.

“Dari tiket tribun, parkir dan pertumbuhnan ekonomi sekitarnya plus minus Rp1,5-2 miliar asumsi kami. Artinya sepak bola ril menggerakan ekonomi masyarakat, karena tingginya animo masyarakat,” katanya.

Mengembangkan sepak bola tidak hanya bisa dilakukan organisasi yang mengurusinya seperti Askab PSSI dan klub, namun membutuhkan satu kesatuan peran dan dukungan berbagai elemen lain seperti peran pemerintah berbagai level dan pihak swasta seperti kampus.

“Semoga kiranya bisa kerja sama dengan teman-teman prodi PJKR (STKIP) Tamsis, karena kuncinya  harus ada kolaborasi antara pemerintah, swasta, stake holder dan para pegiat pencinta sepak bola,” katanya.

Khairuddin menegaskan, dalam berbagai kancah apapun, prestasi sepak bola tidak pernah diraih secara instan oleh pemain maupun klub. Namun ada proses panjang dan perjuangan yang menyertainya. Sebagai contoh, tim Senegal yang menjadi kampium Piala Afrika tahun 2021, mereka memulai perjuangan sejak tahun 2000 yang diawali terbentuknya Academie Generation Foot (Generation Foot). Akademi tersebut diinisiasi oleh Mady Toure, seorang mantan pemain yang belakangan juga didukung oleh FC Metz. Tim senior akademi tersebut tercatat berhasil menjadi juara Premier League. Mereka juga pernah menjadi kampium pada tahun 2017. Mereka mendapatkan hasil setelah 22 tahun berjuang menempa para talenta sepak bola. Puncaknya menjuarai Piala Afrika.

Rata-rata usia pemain yang ditempa di Generation Foot, tidak lebih dari 18 tahun. Sebanyak 30 pemain jebolan akademi tersebut juga merumput di Eropa.  Nama-nama besar dari akademi tersebut kemudian “merumput” di Eropa, seperti Sadio Mane, yang bergabung di Liverpool serta  penyerang West Ham Diafra Sakho, winger Watford Ismaila Saar, dan eks Newcastle Papiss Cisse.

“Ini harus kita garis bawahi, Senegal barusan juara Piala Afrika, mereka bukan ujuk-ujuk,  tapi Senegal bisa juara Afrika karena sejak 2000 ada yang namanya Mady Toure, dia mendirikan akademie Generation Foot, lahirlah orang seperti Sadio Mane dan lain-lain.  Dari tahun 2000 mereka membina dan mulai membangun akdemik, mereka kerja sama dengan FC Metz di Perancis, 17 tahun kemudian mereka dapatkan hasilnya,” ujar Khairuddin.

Pada kancah lokal dan regional pun demikian. Munculnya kehebatan para pemain Persebi bukan secara tiba-tiba.  Demikian juga geladang bertahan Persebaya dan pemain Timnas asal Bima, Ady Setiawan. Dia tidak langsung meraih prestasi di kasta tertinggi sepak bola nasional di kompetisi Liga 1 seperti sekarang, namun dibentuk dan dibina oleh klub di Sulawesi serta melalui proses panjang.

“Belasan yang bermain di Persebi kemarin bukan ujuk-ujuk langsung jadi, tapi 4-5 pemain yang star adalah anak-anak yang sudah dibina Bima United mungkin 5-6 tahun. Begitu juga anak-anak yang bermain dari PS Woha yang sudah dibina 3-4 tahun, sehingga mereka adalah anak-anak (pemain) yang dibina,” ujarnya.

 

Punya Anggaran Nyaris Rp2 M, Klub Sepak Bola NTB Takluk pada 64 Besar Kasta III

Pengurus Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI NTB, Muhammad Dino menyebut, dari aspek anggaran organisasi sepak bola di Bumi Gora sedikit bergairah. Jika pada tahun 2021 anggaran untuk Asprov PSSI NTB hanya Rp400 juta, tahun 2022 pemerintah mengalokasikan di atas tiga kali lipat. Nilainya nyaris Rp2 miliar. Walaupun tak seberapa jika dibandingkan kebutuhan untuk mengembangkan talenta sepak bola di Bumi Gora.

“Tahun 2021 kita punya anggaran Rp400 juta, tapi tahun 2022 kita punya anggaran hampir sekitar Rp2 miliar,” ujar Dino yang bergabung dalam Talk Show NTB menyapa melalui sambungan zoom meeting, Sabtu lalu.

Dia mengatakan, pada tahun 2022 ini yang dimulai akhir Maret ini, Asprov PSSI NTB akan gencar melaksanakan program dan target organisasi. Misalnya mewujudkan pelatih berlisensi D dan NTB Insight yang akan memilih 10 pemain terbaik hasil pencarian bakat (talent scouting) dari klub sepak bola 10 kota dan kabupaten di NTB. Semua pemain potensial tersebut kemudian dikirim ke Jakarta.

“Kemudian kita bawa ke sini,  kita akan mess-kan di sini dan selama tiga bulan. Kenapa di Jakarta, karena banyak tim-tim sedang persiapan liga I dan liga II. Kita uji coba setiap minggu dan setiap bulannya dengan harapan pemain mempunyai pengalaman yang luar biasa. J adi mereka (pemain NTB) balik ke klubnya masing-masing mereka sudah siap tampil di level nasional karena golnya ini menjadiakan pemain timnas dan pemain internasional,” ujarnya.

Sebanyak 10 pemain hebat dari NTB yang dipilih melalui pencarian bakat tersebut berpeluang bermain di Jawa dan luar Jawa.

Menurut Dino, sepak bola di NTB menuju babak baru. Pada tahun 2021 lalu, sedikitnya terdapat tujuh program yang telah diselesaikan Asprov PSSI NTB. Salah satunya mengesahkan tiga peserta baru Liga III Zona NTB, yaitu Lombok FC, Hamzanwadi FC dan Galaxy FC.  Asprov PSSI NTB juga telah menyelesaikan 81 pertandingan untuk Liga III tahun 2021, sedangkan pada tahun 2022 ini,  klub Liga III Zona NTB akan bertambah 5-6 peserta baru.

“Sepak bola di NTB ini akan berkembang dengan pesat, karena target di PraPON 2023. Kemarin kita sudah ketemu Pak Sekjen PSSI, karena kita akan menjadi tuan rumah PraPON 2023,” ujarnya.

Dalam kancah nasional, prestasi dua klub yang memuncaki Liga III Zona NTB, PS Lobar dan PS Bima Sakti, mungkin belum memenuhi ekspektasi masyarakat Bumi Gora.  Klub sepak bola asal Lombok Barat tersebut harus mengakui ketangguhan PS Persida Sidoarjo, dengan skor 10-1 dan keluar pada 64 besar pada perhelatan Liga III nasional. Demikian juga PS Bima Sakti harus mengakui keunggulan lawan setelah sempat merobek jala lawan pada menit 85. Hasil evaluasi Asprov NTB terhadap duta Bumi Gora tersebut, NTB harus memiliki modal yang cukup dan mental bertanding.

“Jika kurang dari kebutuhan itu akan menganggu persiapan mental pemain-pemain. Dari sisi teknis pemain kita di Mataram PS Bima Sakti dan PS Lobar tidak kalah dengan tim tim nasional yang bertanding di liga III nasional, sehingga faktor modal dan mental ini dibutuhkan untuk menunjang pemain NTB di level berikutnya,” ujarnya.

Pengurus Askot PSSI Bima, Ahmad Yani mengatakan, mengembangkan sepak bola memerlukan keterlibatan berbagai pihak seperti pemain, wasit, pemerintah, masyarakat  serta organisasi . “Hal- hal yang perlu menjadi perhatian dalam rangka kemajuan sepak bolah di NTB, kompenen melaksanakan secara maksimal. Tentu secara manajerial harus tepat, memerhatikan bagaimana perencanaan, demikian juga melek organisasi,” katanya.

Khusus dalam lingkup Askot PSSI Bima, pihaknya hanya menggelar turnamen sebagaimana yang menjadi kebutuhan dan agenda PSSI.  “Kami tidak akan melaksanakan kompetisi antarklub bebas umur, karena kepentingan di sini bagaimana meraih prestasi yang ada. Salah satu kami punya program setiap tahun melaksanakan liga pelajar SD, SMP dan SMA, kemudian kompetisi kelompok umur yang diikuti oleh klub, kelomok umur 17 dan U-21, karena kami ingin ada prestasi yang diraih,” katanya.

Menurut Ahmad Yani, turnamen terbuka (open tournament)  adalah hanya sekadar hiburan bagi rakyat. Namun yang lebih penting Askot menyelenggarakan kompetisi sesuai kebutuhan PSSI yang dapat menjadi nilai tambah untuk sepak bola di daerah.

“Mengurus sepak bola itu buka saja sekadar kegiatan, tapi punya output yang jelas. Kalau kita sekadar melaksanakan kompetisi tanpa hasil atau tanpa membina pemain yang kita harapkan, saya kira ini perjuangan yang sia-sia. Dalam mengurus organisasi punya tujuan yang jelas,” katanya.

Pelatih Bima United (SSB), Syamsuddin mengatakan,  meraih kemajuan sepak bola tidak semudah membalikan telapak tangan, namun membutuhkan proses panjang.  Misalnya memahami kondisi pemain. Mengembangkan bakat pemain tidak hanya berkaitan latihan fisik, namun juga harus memahami psikologi pemain. Hal itu dapat dikembangkan dengan bekerja sama dengan sekolah-sekolah sepak bola dan kampus seperti yang memiliki program studi khusus PJKR.

“Kemudian membantu kita terkait konsumsi pemain atau kebutuhan nutrisi. Memahami target yang dilatih. Harus memahami tujuan dan maksud latihan, yang membedakan antarpelatih yaitu ilmunya,” ujarnya.

Coach Bima United, Syamsuddin.

Akademisi Olahraga STKIP Taman Siswa Bima,  Dr Rabwan Satriawan M.Pd., AIFO mengatakan, sepak bola adalah salah satu aset yang dimiliki Kota Bima dan Kabupaten Bima yang dapat dikembangkan dan dikaitkan dengan pariwisata melalui konsep sport tourism, sehingga secara langsung ada efek yang diterima masyarakat seperti meningkatkan ekonomi masyarakat.

“Pertanyaan saya sepak bola NTB ini mau dibawa ke mana? Apakah statis atau jadi hiburan rakyat? Ini yang harus dipikirkan, Askab dan Askot dan Asprov,  apakah sepak bola kita hanya sebagai peserta saja. Bima Sakti sampai liga III nasional, tapi keluar di 64 besar, apakah mau jadi peserta saja atau mau melihat prestasinya,” ujarnya.

Menurut Rabwan, cara mengelola klub sepak bola harus dipikirkan organisasi, Askab, Askot maupun Asprov NTB.  Hal yang harus menjadi perhatian tidak saja berkaitan pelatih, namun psikologi pemain. Karena salah satu persoalan  sepak bola di Bima berkaitan pengembangan pemain. Jika beberapa nama besar pemain sepak bola asal Bima seperti Ady Setiawan dan Rangga Muslim mampu merumput hingga level klub liga I, namun harus diketahui publik bahwa dua pemain tersebut prosesnya bukan instan dan tidak dilakukan di daerah. Namun mereka ditempa oleh klub di daerah lain hingga dilirik klub liga I dan Timnas.

Dosen  STKIP Taman Siswa Bima, Mulyadi mengatakan, keberadaan wasit juga penting menjadi atensi di tengah upaya mengembangkan sepak bola. Terlebih publik sepak bola di NTB termasuk di Bima telah memahami aturan permainan (a lot of the games/ LotG) sepak bola.

Sejauh ini menurutnya, di Kota Bima dan Kabupaten Bima telah memiliki wasit berlisensi C2. Namun secara umum di NTB belum memiliki wasit berlisensi Viva.  Namun demikian telah ada 14 wasit level nasional dan sisanya wasit berlisensi C2.

“Kita harus mengubah mindset pemuda kita, bahwa bekerja itu tidak semata-mata menjadi PNS. Menjadi wasit adalah sebuah pekerjaan yang luar biasa, demikian juga menjadi pemain sepak bola,” katanya.

Menurutnya, wasit di Indonesia adalah yang menerima bayaran tertinggi di Asia Tenggara. Sekali memimpin pertandingan honor wasit di Indonesia menerima Rp10 juta, sedangkan asistenya Rp7 juta. “Bayangin 10 turun sudah kantungi Rp100 juta, hanya turun 2×24 menit. Saya mau membuka pola pikir pemuda, wasit bukan hanya profesi yang hanya berada di lapangan, tapi profesi yang bisa menghasilkan uang,” katanya.

 

Desakan Mewujudkan Stadion Sepak Bola Representative

Penikmat sepak bola NTB, Damhuji MA mengatakan, studion sangat dibutuhkan untuk mendukung dan mengembangkan sepak bola di NTB. Karena menurutnya, tanpa studio tidak ada pertandingan bergengsi. Stadion sepak bola sama pentingnya dengan wasit yang memimpin pertandingan, pemain, tribun dan penonton (supporter). Tanpa salah satu elemen tersebut, maka sepak bola tidak dapat dinikmati.

“Saya ingin katakan betapa sengsaranya kita nonton bola dan bermain bola tanpa stadion. Rekomendasi tunggal, kongres Askbab kemarin meminta mendorong Pemda bangun studion, karena tanpa studion tidak ada kemajuan sepak bola,” ujarnya.

Pada aspek lain menurut dia, keberadaan stadion memberi efek aman (safety) bagi wasit dan pemain. Terutama ketika para penonton tidak terkendali dan berpotensi melempar ke tengah lapangan. Secara historis, kompetisi sepak bola seperti open tournament di Bima sering diwarnai insiden. Hal itu juga dipicu kondisi penonton yang tidak dapat bersantai dan tidak menikmati pertandingan, karena belum didukung sarana dan prasarana.  Dari aspek psikologi, kenyamanan saat menonton dapat memunculkan kembahagian dan meminimalisasi  setiap orang dapat emosi.

“Jawabannya stadion,  karena semua disekat. Orang tidak mudah marah, karena bahagia dan nggak capek,” ujarnya.

Dirinya sepakat jika mengembangkan sepak bola membutuhkan keterlibatan berbagai elemen, termasuk pemerintah dan sektor swasta mendukung prestasi sepak bola, termasuk untuk kebutuhan sarana dan prasarana. Hasil komunikasinya dengan salah satu konsultan, untuk membangun stadion hanya butuh Rp10 miliar. Untuk mewujudkan itu pengusaha dan pemerintah dapat berkolaborasi. Karena sepak bola juga dapat menjadi industri baru yang dapat menghadirkan keuntungan. Sebagai ilustrasi kompetisi sepak bola Gubernur Cup di Kecamatan Sape Kabupaten Bima mampu menyedot penonton 20 ribu hingga di atas 30 ribu setiap pertandingan. Jika setiap tiketnya Rp10 ribu per orang dan terjual hingga 50 ribu penonton, maka pendapatan penyelenggara kompetisi setiap pertandingan hingga Rp500 juta.

“Uang kita banyak sekali di Pemprov dan Pemda, bahkan GOR kita itu Rp11 miliar. Artinya tinggal political will kita dorong pengusaha dan pemerintah. Mereka tidak tahu kalau kita tidak sungguhkan dengan baik bagaimana berinvestasi di stadion ini,” ujar mantan caleg Partai Golkar ini.

Pengamat sepak bola Kota Bima, Syarifuddin menilai, peran organisasi sepak bola seperti Askot, Askab dan Asprov serta pemeritah daerah belum maksimal. Pengembangan talenta sepak bola justru lebih maksimal dilakukan by person dan klub seperti Bima United yang membuka SSB.  Pada sisi lain, publik sepak bola justru diusik fakta kontras semakin berkurangnya lapangan sepak bola representatif seperti di Kota Bima melalui kebijakan pemerintah yang mengubahnya sebagai taman kota.

“Kami di Bima butuh stadion. Soal infrastruktur tidak hanya bicara soal fisik, tapi tentang perangkat pertandingan yang juga penting, di Kota Bima alhamdulillah jumlah wasitnnya banyak. Pelatihnya yang disekolahkan Askot 3 orang yang lisensi C, pembinaan tidak ada,” ujar Syarifuddin.

“Bima United menjadi role model membina U-17 dan U-19. Apakah PSSI mau melakukannya? Orang-orang yang diberikan kepercayaan tidak mengurusnya, orang per orang saja, kompetisi saja tidak ada. Ini kan problem, andalan open turnamen, mana turnamen kompetisi level I dan 2 atau 3 level, Askot nggak ada, U-17 nggak ada, kecuali kehadiran Asprov kemarin yang mengadakan U-17,” kritik akademisi  STKIP Tamsis ini.

Pengamat sepak bola lainnya, Suratman M.Pd mengatakan, kompetisi dan berbagai upaya mengembangkan sepak bola tanpa modal uang adalah omong kosong (nonsense). Karena semua motivasi itu berawal dari uang.

“Kita ada peluang, ketua Persebi orang politik, tinggal ada kemauan. Ada pintu masuk di dana desa, saya bayangkan kongkrit, desa itu bisa keluarkan Rp50-70 juta untuk pembinaan usia dini  pertahun.  Mungkin untuk gaji pelatih kita punya 191 desa, sudah ada modal, tinggal Ibu Bupati,” katanya.

Hingga kini sepak bola di Bima belum memiliki masa depan dengan berbagai keterbatasan, tidak seperti klub sepak bola di Pulau Jawa maupun di Mataram yang sudah mulai disuntik oleh pemodal. Jika arah sepak bola di Bima hanya berorientasi minat, maka tidak berkembang.  Hal itu dapat dilakukan dengan menggenjot peran dan partisipasi pengusahan menengah di setiap desa. Misalnya dengan memberi kontribusi masing-masing Rp5 juta per tahun.

“Kalau kita mengharapkan pengusaha-pengusaha kaya tidak ada yang mau hadir di Bima, tapi hanya bisa melaui pengusaha pengusaha menengah. Harus ada wadah, misalnya SSB butuh uang. Bagaimana berkembang SSB seperti Lombok FC karena ada Pak HBK. di Bima belum bisa, tapi bisa melalui pengusaha menengah,” ujarnya.

Tokoh olahraga dari Bima, Dr H Arsyad Gani mengatakan, NTB memiliki sejarah baik dalam prestasi olahraga yang dimulai oleh atlet Ganefo, lari marathon era 1966 saat zaman Presiden Soekarno. Ketika itu NTB diwakili atlet dari Bima. Demikian juga untuk cabang sepak bola memiliki sejarah bagus.

“Saya tahun 2012 ketika mendapat 7 emas PON, lima orang itu anak Bima. Saya minta kepada Menpora untuk membangun lapangan tartan di Bima saat itu. Oleh Menpora meminta Pemprov dan Pemkot Bima untuk membuat lapangan gravel dulu,” ujar mantan pengurus KONI NTB ini.

Ketika itu Pemkot Bima di bawah kepemimpinan Wali Kota Bima, H Qurais H Abidin sempat menindaklanjuti permintaan Menpora tersebut. Karena pada sisi lain terdapat anggaran Rp10 miliar yang diperoleh Kota Bima. Namun saat itu Pemkot Bima gagal mewujudkan lapangan tartan, karena lapangan yang dibuat tidak memenuhi standar.

“Berbicara sepak bola saya melihat Medsos di Sape ramai orang menonton karena merindukan sepak bola. Tapi mohon maaf saya mengkritik karena menghadirkan pemain-pemain dari luar. Saya tidak setuju dengan itu, saya ingin muncul pemain dari Bima. Siapa pemain terbaik dari klub itu sehingga bisa dilihat oleh teman-teman wasit dan pelatih, bisa dijual mereka itu,” ucap Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram ini.

Menurut Gani, dengan struktur Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang dipimpin Waket DPRD Provinsi NTB, Mori Hanafi yang berasal dari Bima, maka memiliki kekuatan untuk mewujudkan stadion sepak bola.

“Saya sampaikan kepada Pak Mori  Asprov PSSI NTB. Anda punya kekuatan melihat sepak bola di Bima, tinggal datang  ke Kemenpora dan bawa proposal . Apalagi dia sekarang sudah menjadi ketua KONI, karena tidak terlalu susah jika kita punya kemauan,” katanya.

Dikatakannya, ketika sprinter NTB,  M Fadlin menyumbang emas pertama Sea Games, dirinya yang ketika itu bergabung dalam KONI langsung meminta Mempora agar memberi hadiah berupa lapangan tartan untuk Mataram. Permintaan itu pun langsung diberikan Menpora dan kini sudah berwujud GOR. [US]

 

Pos terkait