Industrialisasi Garam di NTB hanya Angan-angan?

Suasana Talkshow NTB Menyapa bertajuk Garam Bima tak Asin, Mungkinkan Industrialisasi Garam? Selasa (8/2/2022).

Bima, Suaraberadab.com— Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki produksi garam 170.000 ton per tahun dan potensi lahan tambak garam 9.785 hektare, namun baru 2.348 hektar (24%)  yang dioptimalisasi sebagai lahan produksi.

Produksi garam dan potensi lahan tambak garam terbesar berada di Kabupaten Bima dengan luas lebih kurang 4.600 hektare dan baru dimanfatkan 1.700 hektare. Jumlah produksi garam terbanyak di Provinsi NTB berada di Kabupaten Bima, mencapai 130.000 ton hingga 150.000 ton. Jumlah produksi tersebut yang baru dimanfaatkan 46.000 ton. Rinciannya untuk kebutuhan konsumsi 19 %, kebutuhan industri non-pangan 27 % dan untuk industri aneka pangan 53 %.

Bacaan Lainnya

Menyikapi hal tersebut Pemerintah Provinsi NTB yang dipimpin Gubernur Dr H Zulkieflimansyah  dan Wagub, Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah mewacanakan mewujudkan industrialisasi garam di Bumi Gora, dengan modal potensi garam pada lima kabupaten, terutama Kabupaten Bima. Wacana industrialisasi garam di Provinsi NTB tersebut dibahas khusus dalam Talkshow NTB Menyapa bertajuk Garam Bima tak Asin, Mungkinkan Industrialisasi Garam? Selasa (8/2/2022).

Talkshow hasil kerja sama STKIP Taman Siswa dengan stasiun Bima TV yang berlangsung di studio Beradab STKIP Tamsis yang dipandu Dr Ibnu Khaldun Sudirman M.Si tersebut menghadirkan legislatif dan sejumlah pemangku kepentingan berkaitan garam di Kabupaten Bima dan tingkat Pemprov NTB.

Anggota DPRD Provinsi NTB utusan daerah pemilihan VI, Abdul Rauf ST MM  mengungkapkan, legislatif bersama eksekutif di tingkat Provinsi NTB tengah menyusun peraturan daerah (Perda) perlindungan dan pemberdayaan petani garam. Untuk mendukung regulasi tersebut, belum lama ini legislatif melaksanakan studi banding di Madura, Jawa Timur dan menemukan produksi garam menggunakan teknologi mesin yang dapat mengelola garam kualitas kategori K3, K2 dan K1 menjadi garam industri, sehingga legislatif antusias mendorong produk hukum Perda tentang garam.

“Alhamdulilah hari ini kami tengah menyelesaikan menyusun lanjutan pembahasan Perda garam yang kita bahas hari ini. Ada temuan-temuan kami yang cukup luar biasa dan patut kita diskusikan hari ini, di mana NTB dalam amanat RPJMD-nya menjadikan dansalah satu program unggulan, yang mana salah satunya mendorong terwujudnya industrialisasi garam ini. Sebagai payungnya kita segera melahirkan Perda yang merupakan Perda inisiatif DPRD yang saat ini dalam bulan dua atau bulan tiga ini kami akan menetapkan sebagai sebuah Perda,” ujar mantan Direktur Pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bima ini.

Politisi Partai Demokrat ini menjelaskan, Perda perlindungan dan pemberdayaan petani garam akan mengatur garam dari hulu hingga hilir. Negara harus hadir  dalam konteks memberdayaan petani garam.  Selain itu, Perda tersebut tidak hanya mengatur pasar konsumsi yang serapannya terbatas, namun mendorong produksi garam berkualitas sebagaimana yang menjadi syarat garam untuk kebutuhan industri. Regulasi tersebut juga mengatur optimalisasi penyerapan garam untuk kebutuhan dalam daerah, khususnya untuk kebutuhan konsumsi, sehingga bisa menangkal produk yang sama dari luar daerah. Sebelumnya Provinsi NTB juga telah memiliki Perda bela-beli produk dalam daerah.

Menurut Rauf, mewujudkan industrialisasi tidak membutuhkan biaya besar hingga ratusan miliar, namun bisa diwujudkan dengan anggaran di bawah Rp10 miliar. Pemerintah daerah tinggal menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) dan lembaga pengelola. Produksi garam di Madura Jawa Timur yang menggunakan teknologi mesin hasil riset Universitas Trunojoyo untuk memenuhi kebutuhan garam industri, dapat direplikasi di Provinsi NTB, termasuk Kabupaten Bima.

Banner Talkshow NTB Menyapa

“Dari sisi teknologi kita tidak banyak kendala dan dari sisi budget juga tidak terlalu besar, sehingga sekarang tinggal kesungguhan dari pemerintah untuk mau mengurus dan mengawal ini. Kami juga mendorong DKP untuk serius menangani problem garam ini,” ujarnya.

Rauf mengatakan, prospek pemasaran garam hasil produksi petani di NTB cukup cerah. Apalagi Indonesia masih melakukan impor garam hingga 4,6 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negari. Selain itu, produksi garam di daerah sekitar seperti Bali dan Kalimantan masih terbatas, sehingga peluang itu dapat dimanfaatkan petani garam di NTB.

“Kalau kita serius, kami yakin KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) juga akan mendorong kita ke akses pasar-pasar industri. Pasar industri ini luar biasa, 4 juta ton kebutuhannya, selama ini impor semua. Kalau kita bisa ambil kesempatan sepersekian dari Kabupaten Bima, maka sejahtera. Bahkan luas 1.700 hektare bisa kita maksiamalkan 4 ribu hektar yang kita punya, “ ujarnya.

Legislatif Provinsi NTB juga akan mengajak Bupati Bima untuk berkunjung ke Jawa Timur untuk melihat langsung kegiatan produksi garam menggunakan teknologi hasil riset Universitas Trunojoyo. “Hitung-hitungan kami kebutuhan dalam daerah saja NTB saat ini, kalau rata rata misalnya setiap KK (kepala keluarga) membutuhkan 133 gram per tahun, kalau dikali penghitungan per hari, hampir mencapai 55 ton untuk seluruh NTB. Dengan ditanganinya itu, pengolahan mutu garam kita menjadi garam industri. Maka sebetulahnya akan banyak lapangan kerja kita ciptakan, karena potensi garam kita di Bima ini baru tertangani 1.700 hektare,” ujarnya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, Ir Muslim mengatakan, Pemprov NTB telah merumuskan industrialisasi garam, sehingga pihaknya berharap dapat melaksanakan dokumen RPJMD.

“Kedua, dari sisi regulasi yang akan didorong DPRD, kami sangat mendorong. Ini langkah maju yang luar biasa. Ketiga terkait kesiapan kita di provinsi untuk melaksanakan program ini sesungguhnya kami telah memiliki master plan dan roadmap pengembangan ekonomi di NTB,” ujar Muslim saat tersambung dalam talkshow NTB Menyapa melalui zoom meeting.

Menurutnya, produksi garam 300 Kg/ jam oleh para petani di Madura menggunakan mesin yang diproduksi Uinversitas Trunojoyo dapat direplikasi untuk kegiatan produksi garam di NTB, sehingga industrialisasi garam dapat terwujud.

“Selain mesin tadi, kami juga akan menfasilitasi pembangunan gudang garam di Bima sampai sembilan unit. Ini merupakan bagian dari komitmen Pemprov (NTB) bagaimana mensinergikan kegiatan-kegiatan pengembangan garam di Bima ini. Saya berharap apresiasi dari anggota DPRD ini perlu kita sikapi dengan cara mengoptimalkan pola koordinasi di pemerintah, sehingga kegiatan ini bisa berjalan efektif dan maksimal dan kami juga mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan kampus STKIP Taman Siswa, mudah-mudahan ini adalah langkah awal tentang usaha garam di Bima  ini,” kata Muslim.

 

Asosiasi Petani Sorot Perencanaan Penanganan Garam

Asosiasi Petani Garam Kabupaten Bima, Adriansyah menyorot penanganan mutu garam di Kabupaten Bima selalu mentok pada tahapan wacana atau perencanaan, tidak ditindaklanjuti hingga tahapan eksekusi.

“Kendala kita itu gagal mengeksekusi tahapan-tahapan garam industri tadi. Contohnya ketika kita bicara garam industri tahun 2018, harusnya tahun 2019 itu sudah ada langkah awal, tahun 2020 itu eksekusinya, tahun 2021 sudah ada pabrik mininya dan tahun 2022 sudsah masuk penyerapan garamnya. Tapi 2022 kita masih bicara prosesnya, pertanyaan saya sampai kapan  kita mau berbicara proses terus,” katanya.

Menurut Adriansyah, pada prinsipnya, petani tidak mempersoalkan penerapan teknologi dalam kegiatan produksi garam, termasuk wacana industrialisasi garam yang dilontarkan Gubernur NTB. Bahkan selama ini para petani juga sudah mengikuti arahan dari pemerintah seperti menerapkan teknologi semi industri dalam proses produksi garam menggunakan geomembran/geoisolator. Namun pada akhirnya setelah petani mengikuti arahan  dan memproduksi garam menggunakan teknologi tersebut, harga garam tetap sama dengan proses produksi konvensional yang sudah biasa diterapkan petani, yakni Rp10.000/ karung. Padahal waktu produksi garam secara konvensional hanya membutuhkan waktu enam hari, sedangkan produksi garam menggunakan teknologi geomembran membutuhkan waktu lebih lama hingga 20 hari.

Dia mengaku sudah beberapakali melakukan sutdi banding ke sejumlah daerah di Madura jawa Timur seperti di Sumenep, Bangkalan dan Sampang. Melihat langsung kegiatan produksi yang dilakukan petani di daerah tersebut.

“Memang ada perbedaan dari segi tata kelola di Madura dan di Bima. Kemudian kalau judulnya garam Bima tak asin lagi, kami bentuk forum putra garam yang mendiskusikan kira-kira isu garam di Bima itu mau di bawa ke mana, sekaligus penjembatan pemerintah dengan petani garam. Sebab menurut saya ada gap komunikasi antar pejabat, pejabat politik, birokrasi di Kabupaten Bima maupun di provinsi langsung ke petaninya,” ujarnya.

Dikatakannya, harga garam di Bima hanya pernah mencapai Rp100 ribu lebih per karung saat produksi garam di Pulau Jawa terganggu oleh kondisi pancaroba di sana. Ketika itu para petani garam merasakan manisnya kegiatan produksi “kristal-kristal” putih tersebut. Menurutnya, industrialisasi garam di Bima hanya bisa dilaksanakan dengan satu syarat, Pemkab Bima, Pemprov NTB dan petani harus memiliki komitmen yang selaras mewujudkan garam industri. Karena selama ini salah satu problem garam di Bima tidak bersaing karena kadar natrium klorida (NaCl) di bawah 98 persen.

“Bisa masuk garam industri apabila sistem produksinya diperbaiki sesuai dengan apa yang diminta market industri. Saya sudah melakukan sosialisasi kepada petani, ketika sebut garam industri mereka siap-siap saja. Apa saja yang diminta pasar itu dia siap sediakan garamnya asal ada kepastian harga. Jadi logiknya ngapain produksi garam konsumsi kalau harganya begitu terus,” katanya.

Ardiansyah tak setuju jika ada pihaknya yang menyatakan garam Bima tidak berkualitas, karena dapat menyakiti hati para petani yang sudah berjuang keras memproduksi garam untuk kebutuhan hidup. Alasan hambatan kualitas saat proses marketing membuatnya untuk melakukan studi banding, memelajari jurnal tentang garam yang ditulis peneliti ITS dan berdikusi dengan peneliti dari UTS.

“Ada asumsi kualitas air di Teluk Bima itu tidak baik, untuk menjdi garam industri banyak faktor, salahsatunya pemurnian air (purifikasi). Saya baca lagi jurnal kalau kuaitas air di Bima kotor dengan banyaknya sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Bima, kit aharus cari solusiny, jangan melihat masalah berhenti menyalahkan masalah. Saya baca lagi jurnal, ada teknologi purifikasi air,” ujarnya.

Selain kualitas memenuhi standar industri, kata dia, produksi garam di daerah di Jawa seperti di Madura meminimalisasi penggunaan tenaga manusia seperti kegiatan pengangkutan menggunakan sepeda motor karena didukung akses jalan hingga tambak.

“Kami sudah capek capek siapkan biaya dan waktu tiba-tiba harga Rp10 ribu. Inilah yang saya bilng perusahaan daerah kita dan kebijakan Pemda harus benar-benar petani ini apapun inovasinya harus didukung. Saya kasi contoh di Bali ada garam piramida, garam yang bisa tembus ekspor di Jepang dan bisa masuk restoran mewah bentuknya piramida, dibentuk dengan sistem pembuatan yang bagus bisa jadi piramida,” kata Adriansyah.

Hal yang sama diungkapkan petani garam di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo Kabupaten Bima, Sahbudin M.Pd. “Hasil observasi kami, pengamatan garam di Bima ini ada beberapa masalah kami melihat. Ada lima masalah,” katanya.

Menurut Akademisi STKIP Tamsis Bima ini, masalah tersebut berkaitan lahan produksi, di mana umumnya lahan produksi garam di Bma ini merupakan petak-petak kecil, sementara yang disarankan Dinas Kelautan Dan Perikanan harus tersedia 1-4 tandon untuk produksi. “Masalahnya tambak garam di Bima ini tidak hanya berfungsi untuk produksi garam, tapi juga untuk tambak bandeng saat musim hujan, sehingga ini yang menyulitkan seperti yang ditawarkan  DKP tahun lalu, sistem intregasi lahan sulit diwujudkan karena penggunaan tambak juga untuk bandeng,” ujarnya.

Sahbudin juga mengafirmasi pernyataan asosiasi petani garam Kabupaten Bima, Adriansyah tentang problem kualitas air di Teluk Bima yang terasimilasi dari muara berbagai sungai sejumlah kecamatan di Kota Bima dan Kabupaten Bima, sehingga memengaruhi kualitas garam. Persoalan lainnya berkaitan kegiatan pasca panen, di mana hasil produksi garam oleh para petani disimpan di gudang sederhana yang diletakan langsung di atas tanah. Selain itu, harga garam masih berkisar Rp15 ribu/ karung. Jika pun harga garam naik hingga Rp20 ribu per karung, petani belum mendapatkan keuntungan yang sesuai tenaga, waktu dan biaya selama proses produksi.

“Dua tahun lalu kami pernah mengadakan pertemuan dengan Bupati Bima, DKP, Gubernur NTB. Dalam pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu, harapan kami untuk memperbaiki nasib, mohon ada perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemprov,” harapnya.

Suplier garam dari Koperasi Mekar Makmur, Ilham mengungkapkan,  pasar garam untuk kebutuhan konsumsi di dalam daerah sebenarnya menjanjikan keuntungan untuk para petani seperti dirasakan oleh UMKM dan koperasi yang dinaunginya. Namun produk garam dari petani harus diolah menjadi garam beryodium dengan nalai jual hingga Rp10. 000 per bungkus. Namun demikian, kegiatan UMKM kini mendapat hambatan dari perusahaan daerah yang menganggap UMKM sebagai kompetitor.

“Selama ini kami terima tidak ada namanya penyuluhan karena diberikan geoisolator. Tidak pernah diberikan pemahaan bagaimana pola untuk mencapai tingkatan kuaitas. Kalau garam untuk konsumsi dari luar NTB bisa disetop karena potensi di Kabupaten Bima dan Sumbawa sangat luar biasa itu bagus,” katanya.

 

Dua Klaster Produksi Garam

Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bima, Ir Muhammad Nasir menyebutkan,  Provinsi NTB memiliki potensi garam yang besar dan menjadi salah satu peyangga kebutuhan garam nasional.

“Dari potensi NTB 9.700 hektar itu di Bima sendiri potensinya lebih kurang 4.600 hektare. Jadi sebagian besar ada di Kabupaten Bima dan dari potensi terseut yang sudah termanfaatkan 2.300 hektare.  Di Kabupaten Bima yang baru dimanfaatkan baru 1.700 hektare dari potensi 4.600 hektare. Artinya, dari potensi yang ada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, bahwa di Kabupaten Bima sudah lebih dari separuh  bisa dimanfaatkan,” katanya.

Menurutnya, produksi garam di Provinsi NTB dibagi dua klaster, yaitu untuk kebutuhan konsumsi dan untuk kebutuhan industri. Demikian juga penanganannya dibagi dua klaster, penanganan dari hulu oleh KKP dengan mewujdkan teknologi produksi, penyiapan sarana-prasarana, teknologi produksi, intensifikasi dan penerapan integrasi lahan.

“Kalau dari segi hilir mungkin lebih banyak peran sektor-sektor lain termasuk di sektor industri, bagaiman strategi pemasaran, bagaimana kita masuk di industri garam. Oleh karena itu kalau kita bericara industrialisasi garam, tentunya harus bagi dua klaster, yaitu garam untuk konsumsi masyarakat untuk baik utuk kebutuhan makanan, pengasinan, pengawetan,” katanya.

Untuk penanganan tersebut, Disperindag Kabupten Bima telah mendorong bergagai industri kecil dan menengah (IKM) seperti koperasi Mekar Makmur, IKM Nanga Sia di Desa Darussalam Kecamatan Bolo, IKM Sanolo Jaya dan BUMDes di Kecamatan Lambu. Setiap IKM tersebut telah memiliki SNI dan izin edar.

“Ini juga sesuai dengan Perda kita. Kabupaten Bima sudah mengeluarkan Perda 3 tahun 2009 tentang pengendalian peredaran garam di Kabuapten Bima, antara lain dijelaskan bagiamana produksinya, peredarannya pengawasan maupun pembinaannya yang ditindaklanjuti dengan Perbup 52 tahun 2018 mengenai pelaksanaan Perda Nomor 3 tahun 2009 tersebut,” ujar Nasir.

Nasir menegaskan, jalan keluar problem garam di Bima agar menjadi garam industri harus meningkatkan kualitas,  kuantitas serta menjaga kestabilan harga. “Kita harus melaksanakan industrialisasi garam di Kabupaten Bima. Artinya dengan membangun pabrik garam dan sarana prasarana penunjang lainnya,” tandasnya.

Harapan yang sama disampaikan Kabid HAM Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bima, Sahrul dan Ketua Badan Esekutif Mahasiswa- Republik Mahasiswa STKIP Tamsis Bima, Kusmadin. Potensi maritim termasuk di Provinsi NTB harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk para petani tambak. Bukan sebaliknya menerapkan kebijakan populis, impor garam hingga di atas 4 juta ton. [US]

Pos terkait