STKIP Tamsis Bima dan PSKP UGM Gelar Desiminasi Hasil Riset, ini Rekomendasinya

Suasana Desiminasi Hasil Riset Memperkuat Agensi Perempuan dalam Lingkaran Ekstremisme Kekerasan di Auditorium Sudirman, Sabtu (6/8/2022).

Bima, Suaraberadab.com— Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gajah Mada (PSKP UGM) bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Taman Siswa (STKIP Tamsis) Bima menggelar desiminasi hasil riset, Memperkuat Agensi Perempuan dalam Pencegahan Ekstremisme Kekerasan di Auditorium Sudirman STKIP Tamsis Bima, Sabtu (6/8/2022).

Dalam sambutannya, Ketua STKIP Tamsis Bima, Dr Ibnu Khaldun Sudirman M.Si menyampaikan apresiasi atas kehadiran sejumlah tokoh seperti Ketua MUI Kabupaten Bima, TGH Abdur Rahim Haris MA, perwakilan pemerintah daerah, sejumlah doktor muda, perwakilan sekolah, pimpinan perguruan tinggi serta dosen, mahasiswa dan pemangku kepentingan (stake holder) berkaitan.

Bacaan Lainnya

“Alhamdulillah PSKP UGM punya perhatian terhadap Bima, melakukan pengkajian. Kehadiran UGM adalah momentum strategis, karena tidak banyak peneliti atau doktor yang konsen dengan kajian-kajian seperti ini. Dikaji oleh orang luar, sehingga bisa dipresentasikan, unsur subjektivitas juga dapat diminimalisasi,” ujar mantan Staf Ahli DPR RI ini saat membuka demininasi hasil riset.

Ketua STKIP Tamsi Bima, Dr Ibnu Khaldun Sudirman M.Si Menyampaikan Sambutan. Foto Fachru Suaraberadab.com.

Dikatakan Dr Ibnu, input dari sejumlah pihak saat desiminasi akan memperkaya riset yang telah dilakukan. Ouput riset tersebut juga dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial, khususnya menguatkan agensi perempuan dalam lingkaran ekstremisme kekerasan. Sama seperti yang dilakukan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Datasemen Khusus (Densus) Antiteror 88, mempercepat perdamaian. Karena isu terorisme dan radikalisme telah menjadi masalah pada banyak negara.

Alumnus UGM dan Universitas Indonesia ini juga menyinggung tingginya peranan perempuan dalam berbagai dimensi di Kabupaten Bima dan Kota Bima seperti sebagai kepala daerah dan sebagai pimpinan penyelenggara Pemilu. Secara statistik peranan perempuan juga menonjol dalam berbagai lini lain, termasuk dalam struktur organisasi mahasiswa.

“Secara statistik didominasi perempuan, demikian juga mahasiswa, sehingga ketika mendiskusikan memperkuat agensi perempuan dalam pencegahan ektremisme kekerasan menjadi hal yang menarik,” kata Dr Ibnu Khaldun.

Disampaikannya juga, STKIP Tamsis Bima tetap konsen dengan visi-misi beradab, yang di antaranya mewujudkan berbagai keunggulan di bidang akademik dan non-akademik.  

“Mas Najib ini sudah bisa dikatakan guru besar, karena sudah 20 tahun fokus penelitiannya tentang masalah agama, masalah kekerasan agama. Dengan membaca Bismillah desiminasi kami buka dengan resmi,” pungkasnya.

Kepala PSKP UGM, Dr Muhammad Najib Azca memaparkan, riset tentang agensi perempuan dalam lingkaran ekstremisme kekerasan dan desiminasi merupakan bagian pengabdian dan pertanggung jawaban UGM kepada masyarakat. Hasil riset tersebut juga telah dirangkum dalam buku.

“Apa yang kami lakukan adalah bagian dari riset kami dari Poso, Bima, Lamongan dan Deli Serdang, tepatnya dimulai dua tahun lalu.  Di sini banyak teman-teman yang membantu kami, Bang Irham, Ustadz Sudarman Makka, Ustadz Imanuddin dan banyak sekali. Tidak mungkin akan berjalan tanpa dukungan Bapak-Ibu,” ujarnya.

Dikatakannya, jurnal dan buku agensi perempuan dalam lingkaran ekstremisme kekerasan diawali pergulatan panjang, yang dimulai dari riset tentang kelompok ekstremisme kekerasan di Poso pda tahun 2003-2004, hingga kemudian tiba di Bima.

“Adik-adik mungkin lupa tahun 1998 ada rangkaian kekerasan konflik beragama di Poso dan Ambon, rangkaiannya cukup panjang. Dari rangkaian panjang itu, kami menyimpulkan tahapan penting mewujudkan perdamaian itu peranan perempuan,” ujarnya.

Kepala PSKP UGM, Dr Muhammad Najib Azca Memaparkan Hasil Riset. Foto Fahru Suaraberab.com.

Azca menjelaskan, kelompok ekstremisme kekerasan berawal dari konflik komunal agama di Poso dan Ambon. Kemudian banyak pihak yang terlibat, mulai dari Jawa, Jakarta dan kemudian disusul oleh sejumlah jihadis dari Bima yang kemudian gerakannya terhimpit di Gunung Biru Poso. Namun meskipun konflik itu telah selesai dan telah terwujud perdamaian antarumat beragama, sejumlah jihadis itu termasuk dari Bima masih terus bergerak dengan tujuan politik melalui kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Pada bagian lain, Lamongan yang awalnya menjadi daerah munculnya kelompok ekstremisme kekerasan telah menjadi kota percontohan kontra ekstremisme. Bahkan pada awalnya ada kelompok yang pernah melakukan aksi-aksi perampokan (fa’i), namun kini telah berubah dan membangun pondok pesantren yang menolak terorisme.

“Salah satu tokoh panglima jihad Poso, KH Arsal Adnan yang pernah datang ke Bima bedah buku di Ponpes Al Madinah, menyampaikan harapannya orang orang Bima tidak usah datang lagi ke Poso, jika merusak perdamaian yang telah diwujudkan umat Islam di sana,” ujarnya.

Poso dan Bima mempresentasikan dua daerah terpenting dalam memahami ideologi dan kelompok ekstremisme kekerasan saat ini. Penelitian oleh PSKP UGM juga merefensi penelitian oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).

Bima sebagai salah satu episentrum kekerasan politik baru yang mencuat ke pentas nasional dalam dua dekade terakhir. Namun di luar itu, Bima memiliki sejarah kekerasan yang cukup lama, diawali kekerasan politik sejak Orde Lama saat era pemerintah Presiden Soekarno atau berkaitan peristiwa Bom Cikini pada tahun 1957 yang menargetkan Presiden Soekarno. Meskipun Presiden Soekarno gagal terbunuh, 11 orang di sekitarnya tewas dan sebagian mengalami luka-luka serius. Setelah para pelaku ditangkap, diketahui mereka adalah dari GPII yang berasal dari Bima dan tinggal di Asrama Sumbawa di Jalan Cikini, Jakarta.

Azca juga memaparkan, motif utama kekerasan agama di Poso hanyalah karena konflik komunal antaragama, berbeda dengan tujuan kelompok ekstremisme kekerasan yang melibatkan warga Bima, di mana umumnya warga Bima memiliki fanatisme agama yang kuat.

Tim PSKP UGM, Rani Dwi Putri memaparkan, sebenarnya banyak ummahat di Penatoi Kota Bima berbeda pandangan dan menarik suaminya dari lingkaran ekstremisme kekerasan dan memutus ideologi yang berlawanan dengan negara. Namun upaya yang dapat dilakukan para ummahat itu masih terbatas (passive preventing). Pada kondisi tertentu, agensi perempuan kalah dengan budaya yang kental dalam jaringan ekstremisme kekerasan, di mana istri harus taat atas segala perintah dan kondisi suami.

“Pada titik tertentu juga tidak ada yang bisa mereka (ummahat) lakukan,” katanya.

Dikatakannya, sebenarnya para ummahat dalam lingkaran ekstremisme kekerasan masih sama dengan perempuan pada umummya, memiliki interaksi sosial. Bahkan bisa diajak duduk berdialog di lapangan.

Beberapa wanita dari Bima menjadi istri dari anggota, bahkan pimpinan MIT seperti Umi Delima dan Nurmi alias Umi Norma yang merupakan istri dari eks Napiter Basri yang memilih PB (NKRI). Sejumlah ummahat justru mengafirmasi pemahaman keras yang dimiliki suaminya.

“Ini yang saya temukan di Poso dan Dili Serdang, ada beberapa perempuan yang active preventing, yang mampu mengajak perempuan lain, tidak hanya suaminya untuk meninggalkan ideologi ekstremisme kekerasan,” ujarnya.

Rani juga menyebut sejumlah faktor yang membawa perempuan ke lingkaran ekstremisme kekerasan, di antaranya faktor pendorong atau push factor seperti ideologi, perasaan dendam dan ketidakadilan. Meskipun tidak mengalami konflik seperti Poso, beberapa kondisi sosial dan masalah struktural di Bima juga mampu memicu perempuan untuk masuk dan tetap bertahan dalam kelompok ekstremisme.

“Kondisi ini adalah ketidakadilan aparat, penyiksaan. Bahkan perlakuan tidak manusia yang cukup kental di kalangan mujahidah di Bima. Banyak dari antara mereka yang mengalami langsung atau mendengar kabar tentang perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh para suami mereka ketika ditangkap aparat,” ujar Rani.

Narasi ketidakladilan dan penyiksaan tersebut turut melanggengkan lingkaran ekstremisme karena berpotensi untuk mewariskan dendam kepada anak-anak mereka untuk meneruskan aksi-aksi orang tuanya di kemudian hari.

“Istri-istri merasa suami mereka tidak melakukan kejahatan. Kenapa suami mereka dilakukan kekerasan oleh aparat, sehingga membenarkan ideologi kekerasan,” papar Rani.

Selain faktor pendorong, perempuan terlibat dalam lingkaran ekstremisme kekerasan, karena faktor penarik (pull factor), yaitu proses pencarian bersama suami atau perjalanan spritual (hijrah) yang mereka alami. Perempuan mengalami proses refleksi diri yang didapatkan dari serangkaian pengalaman dan pemahaman terhadap narasi serta propaganda yang dibangun di lingkungan sosialnya.

Ratusan Peserta Menghadiri Desminiasi Hasil Riset Memperkuat Agensi Perempuan dalam Lingkaran Ekstremisme Kekerasan.

Selain itu, lanjut Rani, juga ditarik oleh faktor pernikahan melalui perjodohan (arranged marriage) yang diatur oleh orang tua maupun keluarga dengan laki-laki yang masih satu kelompok atau memiliki ideologi yang sama. Kemudian pernikahan yang disengaja antara perempuan dengan jihadis yang dianggap sebagai “pahlawan” sehingga memberikan kebanggaan bagi mereka. Kedua proses tersebut bermuara masuknya perempuan ke jejaring ekstremisme kekerasan.

“Dalam konteks Bima, keluarga juga menjadi faktor yang menarik perempuan masuk ke dalam jejaring kelompok ekstremis. Terdapat dua kondisi bagaimana keluarga memainkan peran tersebut,” ujar Rani.

Pertama, kata dia, perempuan yang lahir dan besar di keluarga dan orang tua yang memang telah berbaiat dan menjadi bagian dari kelompok ekstremisme kekerasan. Kondisi tersebut secara otomatis membawa perempuan-perempuan masuk dalam jejaring kelompok ekstremisme, di mana proses indoktrinasi telah berjalan sedari kecil.

“Kedua, anggota keluarga yang memberikan inspirasi untuk masuk dalam jejaring kelompok ekstremisme. Inspirasi dan dorongan dari keluarga inilah yang membuka kesadaran beberapa perempuan untuk masuk dalam kelompok ekstremisme,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, latar belakang pendidikan menjadi salah satu faktor yang menarik perempuan untuk masuk dalam jejaring ekstremisme kekerasan. Beberapa dari mereka, misalnya, mengenyam pendidikan agama di lembaga-lembaga yang terasosiasi dengan kelompok ekstremisme kekerasan. Dari proses belajar tersebut memupuk ideologi ekstremisme mereka atau membawa pada lingkaran orang-orang yang memiliki ideologi yang sama.

“Kepada pemerintah untuk lebih giat lagi, agar lembaga-lembaga yang tidak berizin, karena lembaga yang terafiliasi dengan kelompok ini tidak memiliki izin, namun muridnya semakin banyak. Untuk mengawasi sekolah terafiliasi kelompok kekerasan,” ujarnya.

Dipaparkannya juga, di Kelurahan Penatoi Kota Bima terdapat lembaga pendidikan yang terafiliasi dengan ekstremisme kekerasan. Polanya dengan menawarkan biaya lebih murah. Untuk itu, pemerintah agar menyiapkan lembaga pendidikan yang terjangkau agar mereka bisa keluar dari jejaring ekstremisme kekerasan.

Kegiatan ini dihadiri Kepala PSKP UGM sekaligus koordinator tim riset, Dr Muhammad Najib Azca dan anggota tim, Rani Dwi Putri sebagai pemateri. Kegiatan juga dihadiri Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bima, TGH Abdur Rahim Haris MA, Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah Kabupaten Bima, Nurfarhaty M.Si, mantan Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bima, Syech Faturrahman S.Ag MH sebagai penanggap materi oleh narasumber. Selain itu, dihadiri sejumlah doktor muda, pimpinan OKP, Badan Eksektutif Mahasiswa (BEM) sejumlah perguruan tinggi di Kota Bima dan Kabupaten Bima, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Bima, Dr Muhamamd Hasyim M.Ec Dev, Kepala Bidang Bakesbangpol Kabupaten Bima, Drs Syahrul, perwakilan sekolah menengah atas, pimpinan Ormas perempuan dan tokoh Kelurahan Penatoi Kecamatan Mpunda Kota Bima serta Bintara Pembina Desa Campa Kabupaten Bima. [FH/ US]

Pos terkait