Bima, Suaraberadab.com – Reni Anggriani lahir di Muku pada 18 Mei 2002 sebagai putri tunggal pasangan Irwan dan Siti Nur. Sejak kecil, Reni dikenal sebagai anak yang cerdas dan berprestasi, selalu meraih peringkat pertama di sekolah dasar dan mengikuti berbagai Olimpiade Sains Nasional (OSN). Namun, masa kecilnya tak lepas dari tantangan. Di kelas tiga SD, Reni sering sakit dan divonis menderita tipes. Tahun berikutnya, ia mengalami kerontokan rambut hebat, yang menyebabkan ketidakhadiran panjang di sekolah.
Meski mengalami gangguan kesehatan, Reni tetap semangat belajar. Prinsipnya sederhana: Selama ia masih bisa berdiri dan melihat dunia, ia akan terus belajar dan mengejar cita-citanya.
Saat beranjak SMP, kehidupan Reni kembali diuji. Kondisi ekonomi keluarga yang serba terbatas memaksa orang tuanya untuk bekerja jauh—ayah ke Bali dan ibu ke Malaysia. Reni tinggal bersama neneknya, belajar hidup mandiri dan bersikap dewasa sejak dini. Sifatnya yang pendiam dan tidak enakan membuatnya kadang harus pergi ke sekolah dengan uang saku sisa dari hari sebelumnya.
Setahun kemudian, orang tuanya kembali, dan Reni kembali berkumpul dengan keluarganya, meskipun kondisi mentalnya terus diuji oleh pertengkaran kedua orang tuanya. Di tengah situasi itu, ia sering bertanya pada dirinya sendiri, “Mampukah aku menyelesaikan pendidikan dengan baik?”
Di SMA, Reni terus mempertahankan prestasi akademiknya dengan sering meraih peringkat pertama di kelas. Ia bahkan sempat mengikuti kompetisi matematika tingkat nasional. Pada masa itu, Reni memiliki impian menjadi seorang dokter agar bisa membantu orang sakit, termasuk ibunya. Namun, kondisi ekonomi keluarganya membuatnya harus menurunkan harapannya.
Setelah lulus SMA, Reni mendaftar melalui jalur SNMPTN namun terhalang izin dari orang tuanya untuk kuliah di luar kota. Akhirnya, Reni melanjutkan pendidikan di STKIP Taman Siswa Bima melalui beasiswa KIP Kuliah, memilih jurusan PGSD yang menurutnya memiliki prospek yang baik untuk masa depan.
Di kampus, Reni tidak hanya fokus pada akademik, namun juga aktif dalam berbagai organisasi. Pesan dari ibunya bahwa “Belajar bukan hanya di kelas, tapi juga tentang adab dan tindakan,” membuatnya terdorong untuk bergabung dalam organisasi. Ia mengikuti program pengkaderan, terpilih sebagai kader terbaik, dan kemudian aktif di organisasi internal kampus. Reni dipercaya menjadi Bendahara Umum, juga anggota Himpunan Mahasiswa Prodi (HMPS) selama dua periode, bahkan beberapa kali menjadi ketua panitia kegiatan kemahasiswaan.
Tahun 2022 menjadi tahun penuh perjuangan baginya. Reni mengikuti seleksi Duta Baca Kampus dan mendapat penghargaan sebagai finalis. Ia juga berulang kali mengikuti seleksi Program Kampus Mengajar, dan setelah beberapa kali gagal, akhirnya lolos di angkatan keenam. Bersamaan dengan itu, Reni juga menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Rada dan program Kampus Mengajar di SDN O’O, Kec. Donggo. Lokasi yang berjauhan tak menyurutkan semangatnya, justru menguatkan tekadnya untuk terus berjuang.
Setelah KKN, Reni tidak langsung kembali ke rumah, melainkan menyesuaikan diri di lokasi mengajar yang baru hingga program Kampus Mengajar selesai. Memasuki semester tujuh, Reni menjalani rutinitas padat: mengajar di pagi hari, melanjutkan kuliah siang, dan bekerja hingga malam. Hanya beristirahat kurang dari lima jam setiap harinya, Reni menjalani semuanya dengan keteguhan hati.
Baginya, bekerja adalah salah satu caranya untuk meringankan beban orang tuanya. Selain itu, kesulitan ekonomi yang dihadapi justru menjadi motivasi bagi Reni untuk terus berjuang dan berprestasi.
Pada semester akhir, Reni dihadapkan pada tugas akhir yang harus diselesaikan. Ia memilih jalur artikel yang diterbitkan di jurnal Sinta 4. Proses ini penuh dengan tantangan, dari perangkat yang rusak hingga data yang hilang. Meski sering dihadapkan dengan opini negatif dari orang lain, Reni tetap teguh. Akhirnya, setelah lima bulan penantian tanpa kepastian, Reni memutuskan untuk beralih ke jurnal lain, dan akhirnya tulisannya diterima.
Saat mengurus tanda tangan untuk mendaftar yudisium, Reni kembali mengalami cobaan di rumah yang hampir menggoyahkan semangatnya. Namun, ia menyemangati dirinya sendiri, “Tinggal selangkah lagi, Reni. Perjuangkan ini, dan setelah itu, kamu bebas menuju impianmu.”
Akhirnya, Reni berhasil menyelesaikan studinya dengan IPK 3,96 dan dinobatkan sebagai salah satu wisudawan terbaik angkatan XIX. Meskipun banyak liku dalam perjalanan pendidikannya, semangat Reni untuk terus belajar dan berkontribusi kepada keluarganya tetap hidup. Dengan keteguhan hati dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik, Reni siap melangkah ke babak baru dalam hidupnya, dengan harapan dapat terus menginspirasi dan memberi manfaat bagi sesama. (Tim)