Bima, Suaraberadab.com – Meirizka Hani Putri, atau yang akrab dipanggil Mei di lingkungannya, tumbuh dan besar di kota yang dikenal sebagai kota mangga, di Jawa Barat. Di rumah, keluarga memanggilnya Ika, menandakan kedekatan yang akrab dan penuh kasih sayang.
Terlahir dari perpaduan budaya yang kaya antara Cirebon dari sang ayah dan Bima dari ibunya. Kedua orang tuanya pertama kali bertemu saat mereka menempuh studi di Yogyakarta, sebuah kota yang kemudian menjadi inspirasi bagi Mei dalam perjalanan hidupnya.
Sejak kecil, Mei memiliki sifat yang aktif. Tak hanya giat belajar, ia juga memiliki jiwa wirausaha yang kuat. Saat duduk di bangku SD, Mei sudah mencoba berjualan barang-barang seperti binder dan permen, sekadar untuk menambah uang jajannya.
Tak hanya itu, ia pun sering mengikuti lomba pramuka dan kompetisi menyanyi kasidah hingga meraih juara. Semua pengalaman kecil itu menjadi awal dari perjalanan hidupnya yang penuh warna.
Saat memasuki SMP, Mei semakin menonjol di bidang organisasi. Mulai dari Palang Merah Remaja, Marching Band, hingga Paskibra, ia aktif di berbagai kegiatan. Dedikasinya terhadap Palang Merah Remaja membawa Mei menjadi juara di beberapa kompetisi, dan tak disangka ia pun lulus sebagai siswa terbaik di sekolahnya. Namun, begitu masuk SMK, situasi berubah.
Dengan jarak rumah ke sekolah yang jauh dan waktu yang terbatas, ia mulai lebih fokus pada akademik dan proyek akhir sekolah. Kenangan terbesar dari masa ini adalah keberhasilan timnya dalam membuat website yang terintegrasi dengan jaringan yang mereka atur sendiri, sebuah prestasi besar bagi Mei yang penuh semangat.
Namun, tahun-tahun setelah itu penuh ujian bagi Mei dan keluarganya. Pada 2017, sang ayah meninggal secara tiba-tiba, menghantam Mei dengan rasa kehilangan mendalam. Kondisi ekonomi keluarga pun memburuk, membawa Mei ke dalam masa-masa yang gelap dan penuh tekanan. Ia lebih sering mengurung diri di kamar, bahkan mengalami masa-masa di mana ia menyakiti diri sendiri.
Semua impian seolah runtuh ketika pada 2019, ibunya memutuskan untuk membawa keluarga pindah ke Bima. Di tengah ancaman virus dan ketidakpastian yang menghantui, harapan Mei untuk mengejar cita-citanya di Yogyakarta, kota yang begitu ia cintai sejak kunjungan pertamanya, seakan pupus.
Di Bima, hidup Mei tidaklah mudah. Kondisi mental yang masih terpuruk, lingkungan baru yang asing, serta ketidakstabilan emosional membuatnya merasa tersesat. Meski ia melanjutkan pendidikan di Bima, perasaan terasing dan kebosanan terus menghantuinya. Namun, dalam keterbatasan dan keraguan itu, kesempatan datang.
Sebuah program mobilitas mahasiswa internasional ke Universiti Pendidikan Sultan Idris di Malaysia membuka harapan baru bagi Mei. Tanpa disangka, ia lolos program ini, meski dengan persiapan yang menurutnya kurang matang. Keberanian Mei untuk mencoba presentasi dalam bahasa Inggris, meski tidak begitu menguasai tema yang diberikan, menjadi momen penting dalam hidupnya.
Pengalaman ini menjadi titik balik. Sepulang dari Malaysia, Mei mulai menyadari potensi yang selama ini ia abaikan. Ia menyadari bahwa ketakutannya selama ini adalah rintangan yang ia ciptakan sendiri. Mei memulai lembaran baru dengan mendalami dunia kepenulisan, dan tak lama kemudian artikel ilmiah pertamanya berhasil diterbitkan.
Kesuksesan ini memberinya kebanggaan dan semangat baru. Ia juga mulai menulis buku dalam kolaborasi dengan dosen, sementara artikel keduanya kini sedang menunggu publikasi. Prestasinya di kampus itu, membawanya menjadi salah satu wisudawan terbaik di STKIP Taman Siswa Bima.
Perjalanan panjang Mei untuk menemukan diri dan menghadapi ketakutannya sendiri membawanya pada kesadaran yang dalam tentang arti kehidupan. Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki kecepatan dan prosesnya masing-masing. Pengalaman-pengalaman kecil dan keberanian untuk melangkah, meski dengan langkah yang ragu, ternyata membawa dampak besar dalam hidupnya. Kini, Mei lebih banyak bersyukur atas segala hal yang telah ia lewati dan merasakan makna yang lebih dalam dari perjalanan hidupnya.
Mei berharap agar kisah hidupnya dapat memberikan semangat kepada orang-orang di luar sana yang sedang mengalami masa sulit. Ia percaya bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan yang menunggu untuk ditemukan, asal kita berani untuk terus melangkah, meski hanya dengan langkah kecil. (Tim)