Teladan dari Generasi Salafus Shalih

Wahyudin, M.Pd
Gambar (DKM): Wahyudin, M.Pd

Oleh: Wahyudin, M.Pd

Umat Islam merupakan umat yang terbaik. Di dalam Alquran ditegaskan, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS [3]: 110).

Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Kalian sebanding dengan 70 umat dan kalian adalah sebaik-baik dan semulia-mulia umat bagi Allah.” (HR Tirmidzi). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, kemuliaan umat Islam tidak lain karena kemuliaan Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad adalah makhluk paling terhormat dan Rasul paling mulia di sisi Allah. Beliau diutus Allah dengan syariat yang sempurna nan agung yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi dan Rasul sebelumnya.

Oleh karena itu, derajat terbaik dari kalangan umat Islam ini ada pada mereka yang konsisten mengikuti ajaran Rasulullah dengan terus-menerus melakukan amar makruf nahi mungkar sebagaimana telah diteladankan oleh manusia paripurna itu (QS al-Ahzab [33]: 21).

Amar makruf nahi mungkar tentu sangat luas cakupannya. Karena itu, setiap Muslim berpeluang untuk mengamalkan perintah agung tersebut. Amar makruf bisa diwujudkan dengan mengajak manusia pada keimanan dan ketakwaan dengan cara-cara yang telah disyariatkan oleh-Nya. (QS [16]: 125).

Sementara nahi mungkar bisa kita amalkan dengan cara mengajak umat Islam menjauhi hal-hal yang dapat mengundang kemurkaan Allah SWT. Dalam hal nahi mungkar, Rasulullah juga telah memberikan panduan yang sangat jelas untuk umatnya.

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia mengubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan itulah bentuk selemah-lemah iman.” (HR Muslim).

Berangkat dari hal itu, kriteria umat terbaik itu akan tetap kita miliki, hanya apabila kita mau melakukan amar makruf nahi mungkar secara beriringan. Tidak sekadar amar makruf tetapi tidak nahi mungkar. Atau, sekadar mencegah yang mungkar tetapi tidak mengerjakan yang makruf (kebaikan).

Imam Qatadah, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menjelaskan, suatu waktu Umar bin Khattab pernah berkata, “Barang siapa yang ingin menjadi bagian dari umat ini (umat terbaik), maka ia harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan Allah dalam ayat tersebut.” (HR Ibnu Jarir).

 

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itu adalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)

  1. Teladan dalam Menuntut Ilmu

Abdullah bin Abbas, Sepupu Rasulullah Penggila Ilmu Pengetahuan

Abdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang ’gila’ ilmu pengetahuan. Dia tak pernah bosan menggali ilmu sejak usia muda.

Umar bin al-Khaththab bahkan menyebutnya sebagai pemuda yang matang, mempunyai lisan yang gemar bertanya dan hati yang cerdas.

Abdullah bin Abbas adalah sepupu Rasulullah. Dia anak dari Abbas bin Abdul-Muththalib dan Ummu al-Fadl Lubaba. Ibnu Abbas lahir tiga tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah.

Begitu anak muda dari Bani Hasyim ini lepas dari gendongan ibunya, dia langsung menyertai Rasulullah. Ibnu Abbas selalu berada di samping Nabi Muhammad, baik saat salat maupun ketika melakukan safar.

Ketika Rasulullah meninggal dunia, Ibnu Abbas mengarahkan dayanya untuk menggali ilmu dari para sahabat Nabi. Dia mulai belajar dan berguru kepada mereka.

Suatu ketika, Ibnu Abbas mendengar sahabat Nabi Muhammad menyampaikan hadis. Tak menunggu lama, dia langsung mendatangi rumah sahabat tersebut di waktu istirahat siang untuk belajar.

Ibnu Abbas membentangkan kainnya di teras pintu rumah sahabat Nabi.

“Angin beri hembus membawa debu menyapu tubuhku. Kalau aku ingin, maka aku bisa meminta izin kepadanya dan dia pasti memberikan izin. Aku melakukan hal itu agar jiwanya rela,” kata Ibnu Abbas dikutip dari buku Jejak Perjuangan dan Keteladanan Sahabat-sahabat Nabi yang ditulis Abdurrahman Ra’fat Al-Basya.

Ibnu Abbas tak mau diperlakukan istimewa saat menuntut ilmu, meskipun dia sepupu Rasulullah. Menurutnya, guru harus didatangi bukan sebaliknya.

Usaha Ibnu Abbas mencari ilmu membuahkan hasil. Dia akhirnya mencapai derajat keilmuan tertinggi yang membuat orang-orang tercengang.

Setelah mencapai derajat keilmuan seperti yang diharapkannya, Ibnu Abbas mengubah dirinya menjadi seorang pengajar bagi masyarakat. Rumahnya menjadi sebuah universitas bagi kaum Muslimin.

Salah seorang murid Ibnu Abbas menceritakan, universitas Ibnu Abbas dipenuhi penuntut ilmu. Orang-orang bahkan berdesak-desakan di jalan menuju ke rumah Ibnu Abbas.

“Mereka menutup jalan tersebut bagi orang lain, aku masuk kepadanya, aku menyampaikan kepadanya bahwa orang-orang berjejal-jejal di pintu rumahnya.”

 

  1. Teladan dalam Hal Infak di Jalan Allah

Sejumlah sahabat Rasulullah  kerap bersedekah dan menginfakkan harta terbaik yang mereka miliki di jalan Allah. Hal ini sebagaimana yang diajarkan Nabi

Dalam kitab Sirah Sahabat karya Syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawy diceritakan, ketika para sahabat tengah berada di sisi Rasul dan hendak melakukan shalat berjamaah, muncul sekumpulan orang yang berpakaian compang-camping. Melihat hal tersebut, wajah Rasulullah nampak muram dan kemudian segera memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan.

Usai melaksanakan shalat berjamaah, Rasulullah kemudian berpidato sebagaimana yang diabadikan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18 berbunyi:

Yang artinya: “Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan,”.

Melihat maraknya sedekah dan infak yang terkumpul dari rezeki-rezeki para sahabat, wajah Rasulullah pun berbinar. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah disebutkan bagaimana Rasulullah menganjurkan kepada umatnya agar bersedekah dan berinfak suatu hal yang disukai.

Sayyidina Umar juga dikenal sebagai sahabat Nabi yang gemar membagi-bagikan hartanya di jalan Allah. Tak hanya itu, beliau juga kerap melebihkan orang-orang yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan kelebihan harta yang dimiliki. Sayyidina Umar dikenal sangat menyayangi para mualaf dan orang-orang dengan keteguhan iman dan Islam yang kuat.

Kisah sahabat Rasul lainnya yang gemar bersedekah hal yang disukainya datang dari Abdurrahman bin Auf. Dalam berbagai catatan literatur dan khazanah Islam, Abdurrahman bin Auf pernah menginfakkan separuh harta yang dimiliki. Ditambah dengan 40 ribu dinar (2 Milyar), 500 ekor kuda, dan 500 ekor unta hasil perniagaannya.

Sahabat nabi lainnya yakni Sayyidina Utsman bin Affan. Utsman pernah menemui Nabi Muhammad SAW untuk menyerahkan uang sebesar 1.000 dinar. Penyerahan uang ini dilakukan di saat Utsman tengah mempersiapkan pasukan perang yang sedang mengalami masa paceklik.

Dari keseluruhan kisah ini, terdapat hikmah yang bisa dipetik. Tentang bagaimana kesetiaan dan juga kepercayaan hati para sahabat bahwa harta dan rezeki yang melekat pada manusia hanyalah titipan. Di samping harta tersebut sesungguhnya ada hak-hak milik orang lain yang dititipkan Allah kepada umatnya yang berlebih. Para Sahabat senantiasa berinfak demi islam dan kejayaan ummat.

 

  1. Teladan dalam Hal Dakwah

 

Belajar dari Muadz bin Jabal, Sahabat Rasul yang Cerdas dan Selalu Ingat Mati
Muadz terkenal sebagai cendekiawan dengan wawasannya yang luas dan pemahaman yang mendalam dalam ilmu fiqih, dan bahkan Rasulullah menyebutnya sebagai sahabat yang paling mengerti yang mana halal dan yang haram. Mu’adz juga merupakan Duta Besar Islam pertama kali yang dikirim Rasulullah dan juga merupakan seseorang periwayat hadist.

Muadz, sebagai sahabat Rasul ini pernah diminta Rasulullah untuk membantu mengajarkan agama Islam di Makkah. Ajakan Rasulullah ini karena permintaan masyarakat Makkah yang ingin memperdalam agama Allah. Oleh karenanya Muadz bin Jabal diminta Rasulullah untuk menetap bersama masyarakat di Mekkah untuk mengajar Alquran dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai agama Allah.

Di Yaman selain berdakwah menyebarkan dan mengajarkan agama Islam, Muadz bin Jabal juga berdagang sebagaimana para sahabat lainnya. Berkat kepandaian dan ketekunannya dia berhasil meningkatkan omset dagangnya dan menjadi seorang yang kaya raya, santun dan faqih.
Setelah beberapa lama berdakwah di Yaman, Muadz akhirnya mendapat misi untuk berdakwah ke negeri Syam untuk mengajarkan agama Islam ke penduduk negara tersebut.

Tauladan dari Muadz bin Jabal

Pada suatu hari Rasulullah bersabda, “Hai Muadz!… Demi Allah, aku sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis salat mengucapkan: “Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu.”

Mu’adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat. Pada suatu waktu Muadz pernah berdialog dengan Rasulullah, beliau menyampaikan “Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi.”

Untuk itu marilah kita untuk tetap bersyukur dan isilah hidup ini dengan berbuat kebajikan, karena kita tidak tahu kapan dipanggil Allah.

 

  1. Teladan dalam Jihad

Handzalah bin Abi Amir merupakan sosok pemuda Anshar yang tangguh dari Kabilah Aus. Ia juga menjadi salah satu sahabat Nabi yang sangat tunduk kepada perintahnya.
Suatu hari, Handzalah menikah di Madinah dengan seorang perempuan yang dicintainya bernama Jamilah binti Abdullah.

Perjalanan asmara antara Handzalah dan Jamilah disebut-sebut sebagai kisah cinta sahabat Nabi yang mengharukan karena harus mengutamakan rasa cintanya kepada Allah.

Dikisahkan setelah hari pernikahan Handzalah, ia meminta izin kepada Rasulullah untuk bermalam bersama istinya. Rasulullah pun mengizinkan.

Layaknya pasangan yang baru menikah Handzalah dan Jamilah diselimuti rasa bahagia dengan menyandang status baru sebagai suami-istri.

Akan tetapi suasana kota Madinah saat itu memang tengah mencekam karena isu peperangan. Sejumlah prajurit Muslim banyak bersiaga di berbagai sudut kota.

Meski mencekam, di malam itu juga Handzalah sedang menikmati malam pengantin bersama istri tercinta.

Malam kebahagiaan telah berlalu setelah terbitnya fajar. Handzalah pun melaksanakan salat Subuh namun ia segera kembali ke pelukan istrinya.

Di saat bersamaan terdengar sayup-sayup suara yang menyerukan “Mari Berjihad” sebagai pertanda dari Rasulullah untuk memerintah perang.

Berat sekali pilihan Handzalah kala itu karena harus memenuhi perintah Rasulullah dan meninggalkan istri tercintanya seorang diri tepat pada malam pernikahannya yang pertama.
Namun karena keteguhan hati, pendirian, serta kepatuhannya kepada Rasulullah dan agama, ia pun bergegas memenuhi panggilan perang tersebut.

Begitupun dengan istri Handzalah. Jamilah sangat mendukung suaminya untuk ikut dalam peperangan karena rasa cinta keduanya kepada Allah juga lebih tinggi.
Jamilah hanya bisa memeluk dan menatap Handzalah sebagai tanda perpisahan melepas kepergian sang suami untuk berjihad melawan kaum Quraisy pada Perang Uhud.
Sebuah pedang dibawa Handzalah untuk berperang. Keadaan dirinya saat pergi tidak sempat mandi junub.

Dalam keadaan junub Handzalah segera bergabung dengan para prajurit Muslim Rasulullah, sambil menghadap musuh dari kaum kafir Abu Sufyan.

Pada sesi pertama prajurit Muslim mampu mengalahkan musuh, namun kawanan Muslim kembali diserang dari belakang.

Saat itu juga Handzalah dihantam pedang dan belati oleh kaum kafir Quraisy sambil dilempari anak panah serta tombak. Tubuh Handzalah terbujur dan meninggal.

Setelah peperangan Rasul mulai mencari tahu satu per satu prajurit Muslim yang gugur dalam perang Uhud.

Tidak berselang lama Rasul melihat jasad Handzalah dalam keadaan bersih dari bercak darah. Bahkan rambutnya basah, padahal kondisi Bukit Uhud gersang tanpa air.

Semua yang melihat takjub, namun sahabat Nabi memberitahu bahwa Handzalah baru saja menikah dan ia dalam keadaan junub.

Nabi pun mengatakan, “Aku melihat dia telah dimandikan oleh para malaikat di antara langit dan bumi.”
“Handzalah meninggal dengan status syahid dimuliakan oleh para malaikat karena keteguhan membela Islam,” tulis Muhammad Nasrulloh dalam buku Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi tentang Handzalah yang Dimandikan Malaikat.

Kabar meninggalnya Handzalah sampai pada Jamilah yang tengah menanti kepulangan suaminya usai berperang.

Rasa sedih mendalam menyelimuti hati Jamilah, ia tidak pernah menyangka akan menjanda secepat itu setelah hari pernikahannya yang baru digelar.

Kepergian Handzalah memang sangat cepat dan mengukir sebuah kisah cinta sahabat Nabi yang mengharukan. Namun Jamilah tetap bersabar serta ikhlas melepasnya ke pangkuan Allah.
Sejak saat itu Handzalah tidak sekadar dijuluki mujahid melainkan mendapat sebutan Ghasilul Malaikah, yakni orang yang disucikan makhluk Allah yakni para malaikat.
Begitupula semangat para sahabat dalam berjihat fisabillilah, mengharapkan perjumpaan dengan Allah, dan masuk surgaNya tanpa Hisab.

Semoga kita termasuk golongan yang diberi keteguhan hati, istiqomah di jalan Allah,

Hidup mulia dengan islam atau mati shahid di JalanNya, dan berjumpa dengan Rabb kita di SurgaNya. Aamiin. (*)

Pos terkait