ASKAB PSSI Bima Desain Liga I dan II, ini Detail Planningnya

Suasana Talkshow NTB Menyapa di Studio Beradab STKIP Taman Siswa Bima, Sabtu (5/3/2022) lalu.

Bima, Suaraberadab.com— Asosiasi Kabupaten (Askab) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Bima mendesain liga I dan II untuk meningkatkan performa klub sepak bola lokal di Kabupaten Bima.

Hal tersebut diisyaratkan Ketua Askab PSSI Bima, Khairuddin Djuraid. Namun pada tahap awal tahun 2021-2022, Askab PPSI Bima mendesain kompetisi gabungan untuk seluruh klub sepak bola di Kabupaten Bima.

Bacaan Lainnya

“Tahun 2021-2022 nanti kita gelar dulu seluruhnya, nanti selanjutnya tahun 2023 kita akan klasifikasi seperti itu (liga I dan II). Kami membuka kran sebesar-besarnya karena airnya (potensi pemain) meluber ke mana-mana,” ujar Khairuddin saat menjadi narasumber Talk Show NTB Menyapa yang digelar melalui Studio Beradab STKIP Taman Siswa Bima, Sabtu (5/3/2022) lalu.

Menurut Khairuddin, pihaknya baru saja memulai mengurai benang kusut masalah sepak bola termasuk manajemen organisasi di Kabupaten Bima.  Pengembangan prestasi sepak bola berkaitaan tiga hal, yaitu pembinaan, usia pemain dan kompetisi berjenjang serta reguler. Beberapa tantangan Askab PSSI Bima dalam mengembangan talenta sepak bola terutama berkaitan modal. Apalagi dari apsek regulasi,  pemerintah daerah tidak diperkenankan mengalokasikan APBD untuk sepak bola.

“Pembinaan itu alhamdulillah adik-adik kita dari Woha FC. Kita kirim anak-anak ikut festival U-12, padahal saat zaman zaman Ady Setiawan kita juara sampai level Asia Tenggara. Kita bicara kompetisi reguler, sehingga pelatih dan pencari bakat (talent scouting) bisa mendeteksi bakat-bakat pemain. Untuk terlibat di NTB saja harus punya uang Rp200-300 juta dan itu saya alami, saat membantu teman-teman Persebi kemarin,” ujarnya.

Dikatakannya, setiap kompetisi sepak bola membutuhkan modal tak sedikit. Sebagai contohnya, biaya yang dibutuhkan klub untuk lolos hingga 64 besar kompetisi nasional liga III hingga Rp500 juta. Demikian juga untuk lolos 30 besar dibutuhkan Rp1 miliar. Seterusnya untuk lolos 16 besar dibutuhkan modal Rp5-6 miliar.

“Saya mau katakan mungkin Bima belum memiliki kemewahan, karena Pemda sudah tidak diperkenankan membantu klub sepak bola. Karena jika mengandalkan APBD tidak mungkin,” ujarnya.

Khairuddin mengatakan, klub sepak bola dari Kota Bima dan Kabupaten Bima belum mampu mencicipi kasta tertinggi sepak bola nasional, karena belum memiliki berbagai kelebihan seperti modal. Namun di tengah keterbatasan tersebut, Askab PSSI Bima akan berupaya maksimal.  Salah satunya dengan menggelar kompetisi gabungan seluruh klub, yang kemudian diklasifikasi secara berjenjang beberapa liga amatir khusus klub di Kabupaten Bima. Pengalaman yang tidak diinginkan pihaknya seperti nasib klub di KSB yang sempat mencicipi kasta sepak bola Indonesia pada level nasional, namun kemudian terdegradasi dan kini tidak terkelola dengan baik.

“Kami tentukan tiga zona lapangan karena berkaitan animo penonton juga. Pembiayaannya dari biaya pendataran, sponsorship pemerintah  dan juga pendapatan dari penonton, tiket dan lainnya. Kami berikan contohnya, uang bukan segala galanya, tapi segala galanya butuh uang,” ujarnya.

Askab PSSI Bima fokus mendorong talenta pemain dalam jangka 3-5 tahun mendatang, di antaranya melalui pembinaan klub. Puluhan tahun keberadaan Askab PSSI Bima, yang tergabung hanya 15 klub sepak bola, namun seiring revitalisasi dan berbagai langkah perbaikan, tercatat sudah 61 klub yang terdaftar di Askab PSSI Bima.  PSSI Kabupaten Bima membuka kesempatan kepada setiap klub, selama mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan Askab. Dari sisi kompetisi, organisasi juga terus menggelar berbagai pertandingan seperti liga atau festival pelajar untuk U-14 dan U-16 serta U-12. Selain itu menyelenggarakan Kopa Bupati Bima yang mempertemukan seluruh klub setiap tahun.

“Dari sini pemain itu bisa dideteksi oleh pelatih, para pencari bakat (talent scouting). Para pencari bakat bisa melihat bakat jika ada kompetisi, jika ada sekolah-sekolah sepak bola yang dibina secara baik. Sarana dan prasarana penting buat kita. Satu-satunya dari dari 10 kota- kabupaten di NTB ini yang kita sadari, Kabupaten Bima dan Kota Bima yang belum memiliki studion,” ujarnya.

Kendati demikian, sarana-prasarana bukan hal utama atau hanya faktor ketiga pengembangan sepak bola. Khairuddin mencontohkan situasi anaknya yang belajar pada salah satu sekolah sepak bola (SSB) di Jakarta. Lingkungan tempatnya menetap tersebut tidak terdapat banyak lapangan representatif dan hanya menggunakan rumput sintetis. Namun SSB di lingkungan yang sama tempat anaknya ditempa, justru selalu meraih juara.

“Artinya sarana prasarana bukan penentu tanpa ada pembinaan yang baik, tanpa kompetisi yang benar,” ujarnya.

Pada Maret 2022 ini pihaknya melaksanakan pelatihan wasit untuk mendapatkan lisensi D. Pihaknya bekerja sama dengan Pemkab Bima agar pelatihan wasit tersebut masuk dalam program Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) melalui UPT LLK Kabupaten Bima. Karena pelatihan wasit  tersebut sama seperti bidang lain seperti pelatihan las dan pembuatan pangan, yakni berbasis kompetensi.

Askab PSSI Bima juga telah membuat nota kesepahaman (momerandum of understanding/ MoU) dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMDes) Kabupaten Bima, agar dana desa juga diarahkan untuk optimalisasi pembinaan pemain sepak bola dan penataan infrastruktur lapangan setiap desa.

“Mungkin itulah yang kami lakukan ke depan. Keputusan kongres jelas. Kendala terakhir di Kabupaten Bima wasitnya praktis tidak sampai 10 orang, selebihnya di kota Bima. Jadi wasit-wasit yang jadi perangkat pertandingan, orang Kabupaten Bima belum banyak. Insya Allah di bulan Maret ini kami juga minta rekomendasi kepada Asprov untuk menyelenggarakan pelatihan lisensi wasit C3 akhir Maret ini,” ujar Khairuddin.

 

Raih Prestasi Sepak Bola Butuh Proses Pembinaan yang Tepat

Secara historis, sepak bola di Kabupaten Bima memiliki potensi besar dan riwayat prestasi yang bagus. Sebagai contohnya, 18 klub yang bertanding dalam liga III zona NTB tahun lalu, terutama di rayon Pulau Sumbawa, hampir seluruhnya merekrut pemain dari Kabupaten Bima dan Kota Bima. Demikian juga pada rayon Pulau Lombok seperti klub Bima Sakti, 80 persen pemainnya berasal dari Bima. Begitu pula dengan pelatih klub.

“Dari sisi potensi pemain, kita di Kabupaten Bima mendapatkan satu berkah, bonus demografi. Jumlah usia produktif lebih banyak dari usia tidak produktif. Ini adalah potensi yang harus dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah, tentu bersinergi dengan Pemprov, pemerintah pusat, stake holder lainnya, kampus dan swasta. Dalam rangka pembinaan dan pengembangan sepak bola di Kabupaten Bima,” kata Khairuddin.

Khairuddin melihat turnamen Gubernur NTB Cup yang digelar di lapangan Semangka Kecamatan Sape, Kabupaten Bima adalah pintu masuk pengembangan sepak bola di Kabupaten Bima, termasuk mewujudkan industri sepak bola. Animo masyarakat pada kompetisi tersebut juga menggairahkan cabang olahraga ini. Keterlibatan masyarakat dan kehadiran penonton memberikan andil perputaran uang dalam kegiatan turnamen tersebut. Pihaknya berasumsi perputaran uang itu Rp1-2 miliar.

“Dari tiket tribun, parkir dan pertumbuhnan ekonomi sekitarnya plus minus Rp1,5-2 miliar asumsi kami. Artinya sepak bola ril menggerakan ekonomi masyarakat, karena tingginya animo masyarakat,” katanya.

Mengembangkan sepak bola tidak hanya bisa dilakukan organisasi yang mengurusinya seperti Askab PSSI dan klub, namun butuh satu kesatuan peran dan dukungan seperti peran pemerintah berbagai level dan pihak swasta seperti kampus.

“Semoga kiranya bisa kerja sama dengan teman-teman prodi PJKR (STKIP) Tamsis, karena kuncinya  harus ada kolaborasi antara pemerintah, swasta, stake holder dan para pegiat pencinta sepak bola,” katanya.

Khairuddin menegaskan, dalam berbagai kancah apapun, prestasi sepak bola tidak pernah diraih secara instan oleh pemain maupun klub. Namun ada proses panjang dan perjuangan yang menyertainya. Sebagai contoh, tim Senegal yang menjadi kampium Piala Afrika tahun 2021, mereka memulai perjuangan sejak tahun 2000 yang diawali terbentuknya Academie Generation Foot (Generation Foot). Akademi tersebut diinisiasi oleh Mady Toure, seorang mantan pemain yang belakangan juga didukung oleh FC Metz. Tim senior akademi tersebut tercatat berhasil menjadi juara Premier League. Mereka juga pernah menjadi kampium pada tahun 2017. Mereka mendapatkan hasil setelah 22 tahun berjuang menempa para talenta sepak bola. Puncaknya menjuarai Piala Afrika.

Rata-rata usia pemain yang ditempa di Generation Foot, tidak lebih dari 18 tahun. Sebanyak 30 pemain jebolan akademi tersebut juga merumput di Eropa.  Nama-nama besar dari akademi tersebut kemudian “merumput” di Eropa seperti Sadio Mane, yang bergabung di Liverpool serta  penyerang West Ham Diafra Sakho, winger Watford Ismaila Saar, dan eks Newcastle Papiss Cisse.

“Ini harus kita garis bawahi, Senegal barusan juara Piala Afrika, mereka bukan ujuk-ujuk,  tapi Senegal bisa juara Afrika karena sejak 2000 ada yang namanya Mady Toure, dia mendirikan Akademie Generation Foot, lahirlah orang seperti Sadio Mane dan lain-lain.  Dari tahun 2000 mereka membina dan mulai membangun akdemik, mereka kerja sama dengan FC Metz di Perancis, 17 tahun kemudian mereka dapatkan hasilnya,” ujar Khairuddin.

Pada kancah lokal dan regional pun demikian. Munculnya kehebatan para pemain Persebi bukan secdara tiba-tiba. Demikian juga geladang bertahan Persebaya dan pemain Timnas asal Bima, Ady Setiawan. Tidak langsung meraih prestasi di kasta tertinggi sepak bola nasional di kompetisi Liga 1 seperti sekarang, namun dibentuk dan dibina oleh klub di Sulawesi serta melalui proses panjang.

“Belasan yang bermain di Persebi kemarin bukan ujuk-ujuk langsung jadi, tapi 4-5 pemain yang star adalah anak-anak yang sudah dibina Bima United mungkin 5-6 tahun. Begitu juga anak-anak yang bermain dari PS Woha yang sudah dibina 3-4 tahun, sehingga mereka adalah anak-anak (pemain) yang dibina,” ujarnya. [US]

 

Pos terkait